Kamu tertawa geli dan aku kembali menuangkan anggur untukku sendiri. Ada suatu kelegaan luar biasa mendengar tawamu. Mungkin bukan karena itu adalah kamu – tapi lebih karena aku punya lawan bicara malam ini. Aku punya seseorang yang kutuangkan minum dan menuangkanku minum. Aku punya distraksi ketika minum terlalu banyak. Aku punya pengingat batas minum agar tetap bisa fokus, entah fokus terhadap pembicaraan atau fokus pada wajahmu yang tidak kunjung memerah, tapi semakin menarik, semakin dekat, semakin wangi...
Aku suka lututmu yang keras – membuat kepalaku yang mulai ringan ini seolah ditarik batu pemberat, agar tak mengawang terlalu jauh. Aku memejamkan mata. Aku suka memejamkan mata dengan kuat, begitu kuat hingga aku melihat cahaya-cahaya kecil menghampiriku dari kegelapan yang entah dimana ujungnya. Rasanya seperti perjalanan ke luar angkasa dan kau ada dalam kapsul stagnan yang menembus ruang hampa dengan kecepatan cahaya.
Aku sudah melihat kerumunan cahaya itu menghampiriku – awalnya mereka datang satu-satu, melewatiku perlahan dengan unggah-ungguh permisi, lalu mereka lewat bergerombol tanpa berbelas kasih padaku yang hanya berdiri diam saja. Aku mulai menikmati serangan itu dengan penuh kelapangan ketika tiba-tiba napasku tercekat. Aku cegukan.
Sial, aku kebanyakan minum.
Tiba-tiba kurasakan jari jemarimu memijit belakang leherku, membuatku bergidik pelan. Kamu terdiam, aku terdiam. Jarimu menekan lembut leherku; kurasakan sakit kepalaku hilang perlahan – atau mungkin bukan hilang, tapi tergantikan; dengan rasa nyaman yang bertemu sapa dengan kecanggungan, dengan penuh pertanyaan apakah ini salah satu ketidaksengajaan yang ikut mengantre dari sekian banyak ketidaksengajaan yang kau sebutkan malam ini. Kepalaku mungkin sakit dan aku mulai pengar, tapi kemampuanku memproses segala persepsi yang mengawang malam ini cukup mengejutkan. Mungkin benar, kewarasan tidak pernah meninggalkan kita dalam situasi apapun; ia hanya bersembunyi saja untuk sementara waktu.
Aku bangkit perlahan meninggalkan lututmu yang keras itu. "Sudah, sudah," ujarku, sambil menengadah menatap wajahmu – karena memang harus; aku ingin duduk tegak lagi untuk menenggak isi sloki, entah yang keberapa untuk malam ini.
Saat aku menatap wajahmu, aku berusaha mencari pipi yang memerah atau mata yang mengantuk; tapi sekeras apapun mencari, tak ada jejak ketidaksadaran pada mimikmu. Pipimu tidak merah dan bola matamu yang biasa terlihat cokelat, malam ini begitu gelap. Begitu gelap – hingga rasanya bermalam-malam suntuk dengan segudang anggur merah pun tak akan pernah selesai kuselami hingga dasarnya.
Lalu bibirmu menyapa bibirku lembut; begitu lembut seolah aku akan koyak dan lebur. Aku bermaksud menghitung ketidaksengajaan nomor berapakah bibirmu malam ini, tapi tanpa sadar aku terlalu sibuk membuka celah bibirku, berusaha menghirup lebih banyak darimu. Sesaat kemudian kau seperti tersadar bahwa aku tak akan koyak dan lebur – kau biarkan aku menghirup lebih banyak dirimu dalam satu kecupan yang panjang. Semakin kuhirup semakin kurasa tak lampias – kau tahu aku tak akan koyak dan lebur, dengan penuh keberanian kau rengkuh tubuhku.
Kita sibuk memberi dan merampas napas. Bibirmu seperti sayap kunang-kunang yang akan mati ketika pagi menjelang sekaligus seperti air laut yang mendesak patahan bumi sesaat sebelum pasang membinasakan. Pada satu momen, aku adalah serpihan debu di udara, menunggu kematian – di momen berikutnya, aku adalah badai yang ingin kau taklukan. Saat kukira kecupanmu reda, aku mencari tatapanmu dan berusaha meyakinkan diriku ini adalah rentetan ketidaksengajaan nomor sekian yang sama-sama tak kita perhitungkan, tapi bibirmu memintaku lagi dan kutahu, aku siap memberi.
Kulilitkan kedua lenganku pada lehermu, meniti baris-baris helai rambutmu. Aku mencoba menangkap segala aromamu yang bisa kujangkau dan tak bisa kutemukan wangi alkohol di antaranya. Wangi parfummu, wangi pipi, dan sampomu, semua menguar membentuk identitasmu, tapi tak kutemukan jejak anggur di antaranya. Asumsi-asumsiku akan ketidaksengajaanmu menjadi luntur, digantikan sejuta kata 'mungkinkah'