Minggu, 04 Juli 2021

Malam Ketiga: Kita yang Kuharap Tak Kunjung Sampai

Pagi Ketiga:

Kamu diam saja.

Sejak semalam, kamu diam saja. Ada beberapa jenis diam di dunia ini. Yang pertama ialah diam yang menyenangkan, seperti saat kau berada dalam hubungan yang lama dan stabil – dimana kedua belah pihak saling bersebelahan melakukan aktivitas masing-masing dalam diam, atau malah saling berdekapan tanpa berbicara. Yang kedua ialah diam yang membingungkan, contohnya adalah saat seseorang marah dan mendiamkan kita, tapi kita tidak tahu dimana salahnya kita. Yang ketiga adalah diam yang menyebalkan, misalnya saat seseorang memiliki ego yang tinggi dan mengagungkan argumennya sendiri (padahal argumen tersebut invalid), ia diam saja mempertahankan dirinya. Jenis diammu adalah sebuah campuran sempurna antara diam jenis kedua dan jenis ketiga – jenis diam yang membuat aku bingung dan sebal, karena saat aku bertanya kamu kenapa, kamu diam saja. Aku mulai familiar dengan sikapmu yang menganggap bahwa membicarakan kelemahan atau ketidaknyamanan diri dapat memporakporandakan ego dan aku tak menyukainya.

Aku berusaha memberi makan egomu secara diam-diam dengan mengintrospeksi diri, tanpa lebih lanjut bertanya lagi pagi itu. Kubiarkan saja egomu yang berkobar-kobar itu tetap berpendar membuat mataku sakit. Aku mengerenyitkan dahi, melakukan kilas balik cepat di dalam otakku.

"Kamu tahu," ujarku tiba-tiba, "Aku pikir dia orang baik. Sopan, pintar, dapat diandalkan."

Kita membicarakan seorang rekan kerja laki-laki. Rekan kerja yang baik, sopan, pintar, saleh, berjiwa pemimpin, dan dapat diandalkan – too good to be true, but he does exist. Percakapan itu terjadi begitu saja di sebuah aplikasi chatting, karena malam itu kita tidak sedang bersebelahan makan cemilan di warung seperti biasanya.

"Kalau begitu, jika dia tukar posisi denganku sebagai temanmu, bagaimana?," tanyamu tiba-tiba.

Aku asal saja bilang, "Boleh-boleh saja sih."

Lalu dari situ, diam membingungkan dan diam menyebalkan itu bercampur-campur menjadi sebuah adonan keras yang susah sekali dibentuk maupun diurai. Adonan yang gagal. Adonan yang membuatmu mengumpat "Dasar bodoh!" sambil menatap nanar. Adonan yang ingin kau tinggalkan namun tak bisa, mengingat sudah banyak waktu yang kau investasikan padanya.

Saat itu, aku sedang berada di depan layar laptop-ku, mengerjakan beberapa dokumen sambil mendengarkan lagu. Sekalipun dokumen-dokumen itu mepet deadline, aku akan selalu tergelitik meneruskan pembicaraan kita. Setelah kalimat "Boleh-boleh saja sih" yang kulontarkan, balasanmu yang tadinya dapat kuterima kurang dari 1 menit sekali, tak terlihat lagi wujudnya. Sambil mendengarkan lagu, aku masih sabar menunggu. Kubuka platform pemutar musik online dan kulihat kau ada di sana. Online, dengan lagu yang sedang kau dengarkan. Aku bergeming saja mengamatinya.

3 menit berlalu

9 menit berlalu

30 menit berlalu

dan kau masih di sana, dengan lagu yang kau reggae rock yang sedang kau dengarkan – tapi pesanmu tidak kunjung tiba di sini.

Aku berusaha tak memikirkannya dan bergegas tidur saja. Mungkin diam-diammu yang kurasa janggal itu hanya ada di dalam pikiranku saja – mungkin besok, kau akan berlagak tidak terjadi apa-apa, karena memang tidak ada apa-apa.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rupanya, diam-diammu menjadi semakin menyebalkan di pagi hari. Aku memulai hari dengan menyapamu yang masuk ke ruangan dalam sunyi, tak seperti hari biasa, dan bahkan tak mendapat mendapat lirikanmu. Aku berusaha membantu pekerjaanmu yang akhirnya kau delegasikan ke orang lain padahal biasanya kau tidak segan menyerahkan semuanya (bahkan yang tidak perlu dibantu) kepadaku. Aku berusaha membuka percakapan dengan semua kolega, menanyakan mau makan apa kita siang ini dan kau diam saja, padahal kau yang biasanya heboh duluan. Diammu semakin membuat hariku buruk dan kau terus-menerus berlagak seperti terjadi apa-apa, dan mau tidak mau aku jadi berpikir bahwa memang terjadi apa-apa. Aku juga tidak mengerti kenapa hariku harus jadi buruk karenamu karena mottoku adalah "Apa yang kau rasakan adalah apa yang kau bisa kendalikan. Untuk menjadi bahagia atau tidak bahagia, adalah pilihan yang selalu bisa kita buat dan kita usahakan."

Kita semua makan siang dalam diam, hingga akhirnya salah satu kolega mengajak kita semua untuk pergi bersama ke kota untuk berkaraoke sepulang kerja, mengingat ini sudah akhir minggu. Kolega-kolega yang lain tampak antusias dan mengiyakan – berhubung banyak dari mereka yang juga pulang ke arah kota, kau mengiyakan namun tak tampak antusias walau karaoke adalah hobimu, dan aku mengiyakan karena aku toh tidak memiliki rencana apa-apa. Kau melirikku sedikit kemudian kembali melihat makananmu sebelum aku bisa berkedip memberimu sinyal "Hei, kamu marah padaku?". Aku keluar dari ruangan karena berada satu ruangan denganmu tanpa mengetahui apa yang telah terjadi membuatku sangat jengkel. Hari ini aku tidak bahagia dan aku merasa ini bukan sesuatu yang bisa kupilih untuk kuusahakan.

Sore itu, aku, kau, dan ketiga kolegaku duduk di dalam satu mobil. Kau duduk di kursi penumpang depan dan aku duduk di tengah dengan 3 orang teman lainnya. Aku berusaha menangkap matamu dari kaca, namun kamu terlihat berusaha keras tidak meliriknya. Aku tidak suka menyuarakan permasalahan kita dan aku yakin kamu juga, tapi akhirnya setelah lelah dengan permainan yang membingungkan ini, aku mengambil ponselku dan mulai mengetik diam-diam,

"Aku salah apa?"

Kamu membaca dengan cepat di jok depan,

"Tidak"

Singkat, padat, dan jelas. Aku menutup ponselku dengan jengkel, lalu melesakkan diriku di antara teman-temanku yang sudah mulai mengantuk. Tak lama, suara obrolanmu yang tadinya terngiang keras di telingaku, perlahan memudar ditutup kantukku yang rasanya sama sekali tidak nyaman.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ini mungkin karaoke yang paling ricuh dalam hidupku. Aku terkantuk-kantuk mengikuti orang-orang pergi ke bilik karaoke, kemudian setelah 30 menit berlalu, lagu segala negara sudah dimainkan. Suara sumbang semua orang telah memantul di seluruh penjuru ruangan, hingga salah satu petugas masuk dan memohon agar kita sedikit lebih tenang, karena rupanya bilik yang dindingnya telah dilapis peredam pun tidak begitu bisa meredam suara sumbang yang penuh keributan. Tibalah giliranmu menyanyikan lagu rock kesukaanmu, yang sering kau mainkan lewat pemutar lagu berbayarku (iya, kau meminjamnya saat istirahat; kau bahkan tahu kunci ponselku). Menyebalkan, karena aku juga jadi suka lagu itu dan ingin saja bernyanyi bersamamu, namun aku bersikap acuh tak acuh saat mendengarmu bernyanyi dan asik melihat ponselku.

Aku baru saja mau keluar dari ruangan untuk ke kamar kecil saat kau menyodorkan mic padaku. Aku bengong saja melihat mic yang masih kau genggam di hadapanku dan karena orang-orang mulai bersorak "Ayo nyanyi! Ayo nyanyi!", maka aku mengambilnya dan mulai bernyanyi bersamamu. Menyebalkan, bahwa aku tahu lagu ini dari dulu dan makin sering mendengarnya karenamu. Lebih menyebalkan lagi, bahwa hari ini, setelah seluruh rangkaian perlakuanmu yang menyebalkan padaku, aku masih bisa bersikap menerima saja.

Suara sumbangmu lebih sumbang dari aku dan selain sumbang, kamu juga buta nada absolut. Aku jadi lebih mensyukuri posisiku dibanding kamu. Setelah lagu selesai, aku duduk menjauh dari layar dan minum. Kamu yang lelah setelah menyanyi sambil melompat sana-sini, tiba-tiba duduk di sebelahku, seolah tidak terjadi apa-apa. Aku diam. Kamu mengambil remote karaoke di sebelahku, lalu memilih lagu. Dalam diam aku melihat lagu-lagu apa yang kau pilih, tapi kau memilih lagu-lagu yang selalu kau putar dalam search tab pemutar laguku (yang kau pinjam secara gratis itu), lalu kau menyerahkan remote karaoke padaku, sambil membuang muka berkata, "kalau kamu tahu liriknya, nyanyi saja bersamaku".

Aku harusnya lebih bisa mempertahankan diamku, seperti kau mempertahankan diammu yang menyebalkan itu seharian ini, namun alih-alih menjadi balas menyebalkan, aku malah ikut bernyanyi bersamamu. Tidak semua lagu, namun cukup membuktikan bahwa aku lega kau tidak mengacuhkanku lagi dan bahwa aku sangat senang bisa berinteraksi denganmu lagi. Lagu rock yang kita nyanyikan kali ini sukses mencapai rekor sumbang yang paling juara hingga akhirnya pelayan karaoke-pun masuk lagi memberikan ultimatum bahwa suara sumbang kita terlalu berisik. Kenapa juga mendirikan karaoke jika pelanggan tidak boleh ribut-ribut bersuara sumbang?, tanyaku dalam hati. Tapi kau tak peduli, kau tetap bernyanyi dengan kemampuan buta nada absolut, yang lama-lama membuat kita semua tertawa menghinamu.

2 jam berkaraoke, dan akhirnya petugas karaoke merasa lega setelah kita melakukan check out. Langit kota mulai gelap, lampu-lampu kios menyala. Jalanan mulai macet, sangat berbeda dengan keseharian kita di pinggiran kota – dimana langit mulai redup, lampu-lampu mulai menyala berundak di lereng gunung yang terlihat dari kejauhan, jalanan mulai melengang, dan dingin mulai memeluk. Beberapa dari kita memutuskan untuk langsung pulang karena rumahnya memang berada di pusat kota, sementara hanya aku dan kamu yang memang harus kembali dengan menggunakan kereta. Kita semua berpisah dalam keramaian, aku dan kamu pamit untuk pergi ke stasiun.

Aku dan kamu berjalan dalam diam, menyusuri gang sempit dan padat penduduk menuju ke stasiun. Ingin rasanya aku pulang sendiri saja, namun aku juga bingung harus naik apa pulang nanti jika tidak dengan kereta. Malas juga menunggu kereta jika aku pulang lebih malam. Kau berjalan di belakangku, dengan ritme langkah yang sama sehingga kita berdua masih jalan berdekatan. Aku membeli karcis bersama denganmu, kemudian petugas memberitahu bahwa keberangkatan kereta tertunda. Kamu berkata, "Tak apa," sementara aku menghela napas panjang. Makin lama saja aku harus merasakan marahmu yang menyebalkan, pikirku.

Aku dan kamu duduk di kursi peron, menunggu kereta. Aku duduk berjarak 1 kursi darimu dan mulai membaca buku. Kamu pergi dan tidak lama kemudian kembali membawa rokok dan menyalakannya, kemudian duduk di sampingku. Aku melirik sebentar ke arahmu yang sedang menyesap rokok dalam-dalam.

"Hari ini menyenangkan," katamu. Aku masih duduk memandangi bukuku.

Sikapmu tidak, jawabku dalam hati. Aku tidak bicara apa-apa karena memang tidak tahu harus menjawab apa. 

"Tapi ternyata kau hapal lirik lagu-lagu rock yang kusuka," katamu lagi. Aku masih berusaha tidak menengok. "Aku kira perempuan tidak suka lagu yang seperti itu."

Aku mendengar lagu-lagu itu dari dulu, hanya saja aku baru hapal liriknya sekarang, aku membalas dalam pikiran. Mulutku terkunci rapat.

Kamu kemudian diam dan memainkan ponselmu, aku terus membaca buku. Kereta belum juga datang, sudah setengah jam lebih sejak aku duduk di sini. Aku mendengar suara-suara orang lain yang bergema di seantero peron, tapi suaramu dalam pikiranku adalah yang paling keras bergaung – seperti layaknya satu suara dalam ruang kosong, yang terus menerus terbentur dinding hingga pecah berulang: "Hari ini menyenangkan".

Tiba-tiba kau menggenggam tanganku – begitu pelannya namun bulu kudukku merekah. Aku menengok ke arahmu yang masih memegang ponsel dengan tanganmu yang satu lagi. Aku menarik tanganku namun kau menahannya. Kau mengantungkan ponselmu, lalu menatapku pelan.

"Ayo mengobrol," katamu, "Hari ini seharian kita tidak mengobrol."

Aku memandangmu tidak percaya. Aku yakin tatapanku cukup menyebalkan dan kau memahaminya – rasa kesalku yang tak habis-habis hari ini, malah cenderung bertambah karena kamu yang bersikap seolah tak melakukan apa-apa padaku.

Kau meremas tanganku pelan, "Iya maaf," katamu. "Aku bersikap seolah tak ada apa-apa setelah seharian bersikap menyebalkan". Kau sangat memahami tatapanku yang sudah benar-benar capek.

Aku masih diam dalam pertahananku.

"Tidak berbicara denganmu rasanya menyebalkan," ungkapmu pelan, "Tapi aku tidak tahu bagaimana memulainya lagi, maka aku putuskan untuk bernyanyi dengan sumbang, berharap kamu mengikuti."

Aku diam, masih tidak membalas argumenmu.

"Tapi ternyata aku senang sekali kamu ternyata hapal lagu yang kusukai. Lagu-lagu rock aneh yang biasa membuatku diejek temanku, tapi ternyata toh kamu mendengarkannya juga!," serumu geli.

Seleramu tidak seburuk itu, sahutku dalam hati.

Kamu menyenderkan kepala ke bahuku. Aku kaget dan menolehkan pandangan. Orang-orang sekeliling melihat ke arah kita dan aku jadi malu. Kau, dengan badan tinggi besarmu, menyenderkan kepala ke pundakku yang jelas-jelas kecil dan jauh di bawah jangkauanmu.

"Jangan bersandar," ucapku cepat sambil menggoyangkan bahu tempat kau meletakkan kepala, "orang-orang melihat".

"Memangnya kenapa?" tanyamu, "Kan tidak ada yang kenal."

Aku berkata cepat, "Aku tidak nyaman."

Kamu kembali duduk tegak dengan kepala terangkat, dan menatapku lembut. "Maaf," ujarmu. Aku hanya mengangguk pelan, kemudian kita duduk terdiam. Tanganmu terus menggenggam tanganku, namun tanganku hanya diam kaku, seperti anak kecil yang baru bertemu pacar pertamanya.

Kita duduk dalam diam hingga akhirnya kereta datang. Aku dan kamu berdiri, masuk ke dalam kereta dengan berdampingan. Tanganmu masih memegang tanganku erat. Lampu kereta remang-remang berwarna kuning, banyak wajah-wajah lelah yang mengantuk, dengan udara yang pengap. Kau kembali duduk di sebelahku, menggenggam tanganku yang sempat kau lepas sebentar. Kereta berjalan dengan pelan, lampu-lampu stasiun mulai mengecil dan menghilang, digantikan kegelapan. Kita berjalan menembus kegelapan malam, di tengah area persawahan luas dimana lampu-lampu digantikan bintang. Aku melihat keluar jendela, namun wajahmu ikut terpantul di sana dan menatapku dalam. Tiba-tiba kau memecah kesunyian,

"Aku tak suka pembicaraan kita semalam," katamu.

Aku membalas, "Yang mana? Kita tidak banyak bicara".

Kamu menghela napas, "Membayangkan orang lain menempati posisiku – duduk di sebelahmu, menerima marahmu, dan melakukan ini," ia mengangkat tangan yang menggenggam tanganku.

"Mengetahui kunci ponselku, memutarkan lagu seenaknya dari pemutar musikku, mendiamkan aku, dan kembali bicara padaku setelah seharian tidak mau meladeni omonganku," balasku. Akhirnya keluar juga ucapan ketusku.

"Kau bisa dan boleh marah padaku," katamu. Tentu, kenapa harus tidak bisa?, ujarku sewot dalam hati. Aku juga sangat boleh marah padamu.

"Tapi aku juga boleh melakukan ini," ia mengecup punggung tanganku yang digenggamnya. Aku meringis geli dengan sikapnya yang aneh – luar biasa aneh dan absurd. Aku merinding luar biasa, bingung harus menanggapi apa karena ini begitu aneh. Aku menarik tanganku yang kau genggam secara spontan dan kau tersenyum geli. Aku diam menatap pemandangan di luar jendela, yang sebenarnya tidak lebih dari hamparan langit gelap yang maha luas. Kau juga diam sambil memejamkan mata di sebelahku, tentu saja aku tak melihat secara langsung, aku hanya melihat pantulanmu di jendela.

Kereta memasuki stasiun tujuan kita dan akhirnya kita turun. Setelah keluar stasiun, aku dan kamu akan kembali ke kantor mengambil barang bawaan kita, kemudian berpisah. Esok hari akan berjalan seperti biasa lagi dan kita akan kembali merahasiakan semuanya. Aku tidak tahu apakah akan berbicara denganmu lagi besok atau diam ini ternyata akan tumbuh subur setelah hari ini bertunas. Aku dan kamu berjalan masing-masing dalam diam sambil menyusuri peron untuk keluar dari stasiun, tangan kita tidak lagi bertautan dan aku merasakan ada sekat besar di antara keheningan kita.

Kita berjalan pelan menyusuri peron hingga sampai ke depan stasiun. Lagi-lagi, dalam diam, kau menggenggam tanganku, "Ayo pulang...," katamu, "Ke kantor.". Aku lagi-lagi diam saja berada dalam genggamanku, padahal pikiranku cukup sibuk mempertanyakan bagaimana kalau ada orang kantor yang melihat, tapi kau seolah cuek saja.

"Hari ini, aku pertama kali jalan di luar bersamamu. Hari ini juga, aku pertama kali naik kereta bersamamu. Sebenarnya, ini kali pertamaku naik kereta dengan perempuan," celotehmu, "Aku sama sekali tidak membayangkan akan pernah naik kereta denganmu."

"Tadinya aku hampir tidak mau naik kereta denganmu," ungkapku jujur, "Aku tidak mau didiamkan."

"Tapi malah kamu yang mendiamkan aku," kau senyum tanpa rasa bersalah. Aku kembali memalingkan wajah.

Malam di pinggiran kota ini tipikal sekali – kendaraan hanya sedikit yang lalu lalang, trotoar yang tidak jelas keberadaan dan ketiadaannya, lampu jalanan yang jaraknya berjauhan sehingga meninggalkan kegelapan di beberapa titik, dan kesunyian yang kebanyakan mengisi ketika jalanan benar-benar kosong tanpa suara, padahal malam belum begitu larut. Kemudian kau memecah keheningan, "Aku kesulitan bicara padamu, tapi bukan karena kamu seolah galak padaku," katamu, dengan percikan keterusterangan yang entah kudapat dari mana. "Tapi karena aku tidak biasa merasakan – apa ya namanya? Perasaan tidak nyaman ketika membayangkan ada yang menggantikan aku merasakan hal-hal seperti ini."

Kamu menghentikan langkahmu, memegang tanganku erat, kemudian membelai pipiku. Aku berkedip tidak percaya, karena ini di pinggir jalan raya! Bagaimana jika ada yang melihat?

"Terlebih lagi," ucapmu pelan namun berat, "Begitu aku sadar bahwa ini semua tidak begitu benar untuk terus dirasakan.". Aku tertegun, jarimu mengusap bibirku pelan, kemudian mengelus puncak kepalaku. Gesturmu mengajakku kembali berjalan dan aku mengikutimu dari belakang tanpa bisa banyak berkata apa-apa. Kenapa sih kamu harus menyinggung bahwa ini semua salah?

Kita kembali berjalan dalam diam, aku berjalan dalam rasa dongkol. Dongkol memikirkan bahwa apa yang kau pikirkan itu ada benarnya. Semua emosi yang kita rasakan salah untuk kita rasakan, tapi entah kenapa aku berharap kita tak akan sampai – baik itu ke kantor, maupun ke sebuah konklusi yang membuat rasa bersalah ini memenangkan kita hingga akhirnya kita dengan sadar mengalah. Walaupun seharian ini sikapmu menyebalkan, mendengar sebentar saja kejujuranmu rasanya luar biasa melegakan, dan aku enggan berpisah dengan tangan besarmu yang hangat menggenggam. Bahkan tanpa kamu menggenggam, aku enggan berpisah dengan bayanganmu yang menutupi separuh bayanganku ketika kita berjalan.

Kantor terlihat dari kejauhan dan kau melepaskan genggamanmu. Setelah ini, mungkin kamu akan merasa semua ini sangat salah dan diam-diam kita akan berpisah seolah tidak akan terjadi apa-apa. Kau tiba-tiba berhenti berjalan di depanku dan kemudian memelukku erat.

"Sedikit saja," bisikmu pelan di puncak kepalaku. Aku bisa merasakan napasmu terselip di sela-sela helai rambutku. Aku meredamkan kepalaku di lipatan-lipatan hoodie biru tuamu yang tercium sangat familiar – aroma favoritku selama beberapa bulan terakhir. Dengan ragu aku membalas pelukanmu dan lenganmu merengkuhku dengan lebih erat.

"Kita akan masuk seperti tidak terjadi apa-apa, tapi besok dan seterusnya, jangan berpikir apa-apa," ucapmu. Kamu memelukku erat, aku tidak tahu apa yang membuatku sesak – apakah rengkuhan tanganmu atau ucapanmu yang mengetuk halus pikiranku.

"Jangan pernah berpikir apa-apa, karena aku akan selalu bersikap seperti ini padamu," ucapmu pelan, sambil melepaskan pelukanmu. Kamu tersenyum menatapku kemudian berjalan duluan menuju kantor, aku mengikutimu dari belakang.

Benar rupanya, orang-orang sibuk bergosip saat melihat kedatanganku denganmu, bertanya aku habis pergi darimana. Aku dan kamu menjawab singkat, "Tadi pergi ke kota, karaoke bersama yang lain," dan jawaban pendek itu seolah dapat mendiamkan gosip yang mungkin akan mengamuk di antara kita. Aku dan kamu pulang tanpa banyak berbasa-basi, bahkan kita tidak mengucapkan sampai jumpa.

Kamu selalu bersikukuh agar kita tidak memikirkan apa-apa, tapi pikiranku melambung jauh – lebih jauh dari masa depan yang bisa kulihat. Saat suatu hari ini semua menjadi tambah menyesakkan, mampukan aku untuk tidak memikirkan apa-apa?

Saat aku dan kamu tak menjadi apa-apa, bisakah aku melewati hari tanpa memikirkan apa-apa?

Di luar dugaan, ternyata pikiranku masih konservatif sekali tentang apa yang kuanggap hanya benar dan salah – tidak ada di antaranya, tidak ada abu-abu. Pada akhirnya, aku cuma berharap, kita tidak kunjung sampai ke malam dimana kita dapat menyimpulkan bahwa abu-abu itu tidak pernah ada.

Aku harap, kita tidak kunjung sampai kemanapun.

Minggu, 29 November 2020

Malam Kedua: Kemungkinan Yang Tidak Perlu Larut Dibayangkan

Malam Dua:
 
(Mungkin bukan malam dua juga, tapi bermalam-malam berikutnya)
 
Aku tersenyum tipis saat melihat namamu muncul di ponselku, ia berdering keras mengagetkan.
 
Aku berhitung dalam hati, "Satu... Dua... Tiga... Empat... Lima...," tapi sampai akhir ia tidak berhenti berdering. Kau serius memanggilku rupanya. Aku mengangangkatnya sambil berdeham.
 
"Halo," kataku, "Ya, kenapa?"
"Dimana?," jawabmu cepat. Belum sempat aku menjawab lengkap, kau sudah keburu memotong.
"Aku ke sana," jawabmu tak sabar, lalu telepon ditutup.

Aku tersenyum dengan sedikit jengkel, tapi kau memang begitu. Kau jarang bertanya apa yang kurasakan, karena aku selalu menumpahkan apa yang aku pikirkan. Ketika kau berargumen dan aku diam saja, berarti aku 1) merasa dirimu benar, 2) butuh waktu untuk memikirkannya, 3) merasa argumenmu benar atau tidak benar tapi aku tidak keberatan karena tidak merasa dirugikan. Malam ini, aku diam saja karena argumenmu benar dan aku sama sekali tidak keberatan mendengarmu mengoceh sampai pagi pun.

Tidak lama kemudian, kau muncul entah dari mana, berpakaian hoodie biru tua yang itu-itu saja, celana panjang jeans, dan sandal jepit. Pesanmu selalu menyuruhku buru-buru dan aku selalu berujar, "Sebentar ya," dan keluar sedikit lebih lama dari yang kau inginkan. Mungkin kau tidak tahu (dan aku berharap kau tidak akan pernah tahu), bahwa lima sampai sepuluh menit sebelum kau membombardir ponselku dengan kata "Cepat", "Ayo", "Di depan", aku sudah sangat siap. 

Penampilanku di bawah rata-rata seorang perempuan; aku tampil dengan hoodie-ku dan sepatu kets busuk yang sudah agak reyot, dengan wajah yang sedikit kurias dan bibir yang sedikit kupulas agar tidak terlalu gembel-gembel amat (walau sebenarnya aku tidak terlalu takut terlihat gembel – aku lebih takut terlihat menginginkan kedatanganmu). Aku berjalan dengan santai ke arahmu yang terlihat menggerutu sambil bilang, "Ayo" – aku suka membuatmu sedikit sebal karena menurutku itu menggemaskan. Aku duduk di belakangmu, menghirup wangimu dalam diam walau pikiranku tidak bisa diam. Wangimu maskulin – tercium seperti nutmeg dan lada – wangi perapian di tengah hutan, penuh kehangatan, pada malam hari berbintang. Rasanya aku tahu kau muncul dari mana malam ini, tapi aku tak mau banyak berpikir. Aku sudah cukup senang bisa duduk di belakangmu malam ini, tanpa peduli kau habiskan untuk apa atau dengan siapa waktu-waktu yang tak kumiliki itu.

Kau menggerutu sambil berkata bahwa kau lapar dan aku menawarkan warung kecil tempatku biasa curi-curi mengemil di malam hari. Aku memesan menu biasa; sepotong roti bakar dengan kornet dan telur, lengkap dengan teh susu hangat. Kau bingung karena tidak familiar, tapi kemudian kau memesan sepotong roti bakar dengan pisang serta cokelat dan telur mentah di dalam cangkir. Aku pikir seleramu aneh, tapi aku tidak mau berkomentar. Tidak semua yang aneh itu tidak baik. Toh kau juga sebuah keanehan yang mendadak muncul dalam hidupku; aku tidak tahu apakah kau baik atau tidak bagiku, tapi aku senang dengan anomalimu.

Pemilik warung menaruh sebuah cangkir berisi telur mentah di depanmu, kau meraih garam di sebelahku, kemudian membubuhkannya sedikit di atas telur. Setelahnya, kau menatap telur mentah itu sejenak, lalu mengaduknya pelan, dan menyeruputnya sampai habis. Aku menatapmu setengah terpukau (semua yang kurasakan akan kukurangi setengahnya, karena aku tak mau membuatmu besar kepala) – diam-diam mengagumi selera anehmu.

Aku menyeruput pelan teh susu yang kupesan kemudian tanpa sadar bersenandung pada irama lagu yang keluar dari televisi di kios. Aku lupa judul atau penyanyinya, tapi iramanya lekat pada ingatan lamaku akan kartun Minggu pagi ketika aku kecil – film kartun laki-laki yang menjadi perempuan jika tersiram air hangat.


Jatuh cinta, Ranma Ranma Ranma
Kita menjadi teman
Kita menjadi teman
Kita menjadi teman
Selamanya...

Lalu kau bersenandung bersamaku penuh semangat, melantunkan "Kita menjadi teman selamanya!", berjoget khasmu – berjoget dengan lengan patah-patah seperti Patrick Star. Tawa renyahmu terdengar setelahnya, kemudian kau mengejekku, "Dasar tua".



"Kamu juga," balasku, "Kamu bahkan lebih tua dariku sedikit."
Kau memang lebih tua dariku, tapi kelakuanmu tidak, imbuhku lagi dalam hati.

"Iya tua," ucapmu, "Tapi aku beruntung diberkahi acara televisi pagi yang seperti itu di hari Minggu. Jika aku lahir terlambat, mungkin aku tidak punya kenangan acara Minggu pagi yang bagus-bagus."

"Tidak ada acara televisi yang jelek, termasuk acara musik pagi yang norak itu, ya," sanggahku.

Lalu kau tertawa lagi, lebih keras. "Itu keren pada masanya, tetap zaman terbaik dalam hidup," katamu sambil tersenyum.

Kemudian kau berdendang dengan cengkok dan nada melayu yang mungkin terakhir kali kudengarkan dengan rutin 13 tahun yang lalu. Lagu-lagu puberku; teman sedih dan sepiku saat aku menyukai seseorang tapi tidak tahu bagaimana menyatakannya, saat aku ingin bergandengan tangan tapi orang bilang bergandengan tangan dapat membuatku hamil, saat aku ingin punya ponsel karena aku ingin tahu kabar orang yang kusukai tanpa harus menelepon dari telepon rumah dan didengarkan orang tuaku.

Setelahnya kau mengelukan yel-yel La La La Ye Ye Ye sambil berjoget dengan gaya cuci-jemur – joget yang populer sekitar 13 tahun lalu. Pemilik kios mengintip dari balik dapur dengan penasaran karena suaramu terlalu berisik dan aku melontarkan tatapan menyesal, seolah minta maaf. Kau tertawa terbahak-bahak dan tetap melanjutkan jogetmu yang jelek dan amburadul. Rasanya aku ingin membuang muka, tapi di satu sisi aku tetap ingin melihatmu melawak. Biasanya aku tak akan tertawa karena hal-hal seperti ini, tapi kau selalu menjadi anomali yang aku sukai.

Lelah tertawa, aku menyeruput teh susuku yang dari tadi baru kuhabiskan sedikit karena mulutku terlalu asyik tersenyum karena lawakanmu – yang mungkin tidak akan berefek sama padaku jika orang lain yang melakukannya. Kau bertanya lagi padaku, "Berarti kamu juga tahu artis-artis yang CD-nya akan kita dapatkan jika membeli ayam di restoran ayam itu?"

Aku mengangguk, "Ya pasti tahu," imbuhku, "Aku banyak menghabiskan waktu di restoran ayam itu, berpacaran". Kau menjulurkan lidah seolah mengejek. Aku jadi mengingat hal-hal yang sudah lama tidak kupirkan. "Aku mulai pacaran di restoran ayam itu, janjian bertemu di sana, bertengkar di sana, dan putus di sana," kataku pelan.

"Ah iya, ada lagu yang kusuka," katamu cepat. Aku menyeruput lagi tehku sambil menerawang. Bukan masa lalu yang nyaman, tapi 13 tahun sudah cukup untuk membuatnya menutup dan terlupakan.

Kutak biasa tatap matanya!
Buatku jadi gila!
Engkau dan dia mengaku saja!
Teman atau teman!

Semakin malam suaramu semakin sumbang. Aku bersyukur kau hanya menyuruput telur mentah saja, bukannya anggur merah seperti waktu itu. Mungkin jika kita berdua mabuk sekarang, kau akan teriak bernyanyi di atas meja dan aku akan tersenyum-senyum sendiri di pojok ruangan lalu tertidur – kita berdua akan di blacklist dari seluruh kios roti bakar setelahnya. Suara sumbang itu semakin membuatku terseyum semakin larut. Walaupun suara itu mengganggu ketertiban umum dan membuat kau dipukuli massa sekalipun, aku akan sukarela membawamu kabur sambil berlari dan tertawa terbahak-bahak. Pemilik warung sudah tidak lagi peduli, kau dan aku terus mengobrol sambil berbalas lirik.

Aku, 13 tahun lalu, tidak akan menyangka bahwa lagu yang membuatku bersedih akan membuatku tertawa terbahak-bahak malam ini. Sering kali aku menyaksikan orang-orang tergila-gila dengan kapsul waktu yang merupakan setumpuk kenangan yang diletakan di dalam boks atau tabung lalu dikubur, untuk dibuka bertahun-tahun kemudian. Rasanya aku tahu dimana letak keajaiban sebuah kapsul waktu –  yang ajaib darinya bukanlah kenangan-kenangan yang kembali teringat setelah disimpan baik dalam kapsul, tapi tranformasi emosi yang dirasakan ketika kenangan-kenangan itu terbuka kembali. Kenangan indah yang dulu dikubur untuk dibangkitkan lagi emosi bahagianya bisa jadi menimbulkan rasa sedih di hari ini. Tapi malam ini, kenangan buruk dan sejumlah lagu sedih yang kukubur dalam sebuah kapsul dalam lobus temporal-ku menimbulkan gelak tawa berkepanjangan, yang aku tak pernah tahu bisa terjadi karenamu.

Tidak semua hal baik akan menjadi kenangan baik dan tidak semua hal buruk akan menjadi kenangan buruk. Semua erat bergantung pada waktu – dan kau yang ada di waktuku sekarang, membuat hal buruk menjadi terasa lebih baik. Oleh karenanya, kehadiran dan segala anomalimu, walaupun kadang menyusahkan, (diam-diam) sangat kusyukuri.

Malam semakin larut dan kita beranjak meninggalkan warung. Kau tidak membawa uang untuk membayar dan merengek supaya aku meminjamkan uang. Rengekanmu tidak membuatku sebal (atau mungkin belum) dan aku dengan baik hati meminjamkan uang. Memang aku selalu terlalu baik padamu, semoga kau tidak sadar, pikirku dalam hati.

Aku kembali duduk di belakangmu, kau memacu sepeda motormu dengan kecepatan pelan.

"Selera musikmu norak," celetukmu tiba-tiba. Aku terperangah di balik punggungmu. Bisa-bisanya!
"Lho, selera musikmu lebih norak lagi, jogetmu juga jelek," balasku.

Suara angin berderu pelan, menerpa pelan wajah kita. Suaramu masih jelas terdengar.

"Tapi menurutmu, mungkin tidak, kita bisa bersama?" kau bertanya. Angin seolah tak mau membantuku pura-pura tuli – suaramu terdengar jelas sekali. Aku diam sejenak.

"Mungkin tidak. Kalau bersama denganmu setiap hari, nanti aku bisa mati kesal," aku setengah serius dengan ucapanku. Aku punya keyakinan pribadi bahwa seseorang yang bisa membuatmu tertawa terbahak-bahak adalah seseorang yang juga bisa membuatmu kesal setengah mati.

Kau berjalan dengan kecepatan yang sama dalam diam. Aku menatap punggungmu, menyesap wangimu yang menguar dari balik hoodie biru tuamu. Rasanya masih seperti berkemah di tengah hutan, di depan api unggun, di bawah bintang-bintang.

"Tapi menurutku, mungkin kita bisa saja bersama-sama dan bahagia," katamu memecah keheningan.
Aku tertegun di belakangmu dan sebelum aku dapat menjawab, kau menambahkan,
"...Jika kita bertemu lebih cepat".

Aku tak tahu harus membalas apa, jadi aku memilih diam saja sambil melihat langit yang tak berbintang malam ini. Tiba-tiba kau meraih tangan kiriku, melingkarkannya pada perutmu. Aku meraba sakumu dan mencoba bercanda, "Iya, aku tahu tidak ada dompet." Tapi kau hanya diam menggenggam tanganku yang melingkar pada perutmu dengan canggung.

Malam ini, aku meneguk teh susu hangat dan kau menelan telur mentah yang dibubuhi garam bulat-bulat – tak ada anggur merah dan aksi lupa diri. Malam ini, tak ada bibir yang bersentuh tanpa sadar maupun tanpa malu, hanya ada tangan-tangan yang saling menggenggam dalam canggung tak berkesudahan. Malam ini, aku hanya berapa puluh sentimeter duduk di belakangmu, tapi pikiranku erat didekap wangi api unggun dalam gelap hutan di antah berantah.

Satu lirik bodoh kembali terngiang di pikiranku.

Jatuh cinta, Ranma Ranma Ranma
Kita menjadi teman
Kita menjadi teman

Kita menjadi teman
Selamanya...

Aku menatap punggungmu – bersyukur ia tak memiliki mata. Aku pun berharap pikiranku tak terhantar lewat jari-jari yang saling bertaut dalam hening panjang.

Apapun anomali yang terjadi dan kemungkinan apapun yang ditimbulkannya, semua itu seharusnya tidak perlu larut dibayangkan.


Minggu, 13 September 2020

Malam Pertama: Ketidaksengajaan Yang Tidak Perlu Kita Pikirkan

Malam satu:
 
Aku selalu tersenyum tipis pada kepercayaanmu akan ketidaksengajaan.
Kamu berdiri di hadapanku malam itu, menerawang sambil tersenyum, mengatakan bahwa agak aneh kamu berakhir di depan rumahku malam ini dan kamu tidak pernah membayangkan ini akan terjadi. Tadi siang kita pergi menonton bioskop dengan teman-teman, kemudian pulang ke rumah masing-masing, dan di sinilah kamu malam ini – tiba-tiba tergerak menemuiku.
 
Aku bertanya, "Kenapa?"
Kamu menjawab, "Tidak tahu, ketidaksengajaan saja."
 
Aku tersenyum mendengar jawaban yang sungguh ada di awang-awang itu tapi jawabanmu sudah kuperhitungkan dan kuterima. Sebagai orang yang diam-diam memperhatikanmu, aku tahu kamu bukan tipe yang akan keras memilih satu hal dibanding hal lain. Kamu selalu berusaha berdiri diam di tengah tali tipis – berusaha menjadi abu-abu di tengah hitam dan putih atau menjadi yang moderat di antara yang baik dan jahat.
 
"Mau minum?," tawarku sambil menyiapkan sloki.
"Boleh, sedikit saja," katamu. Aku tersenyum – aku lega punya teman bicara, setidaknya malam ini.
 
Kutuang anggur murah itu ke dalam slokiku, kemudian ke slokimu. Bukan aku tidak menghormatimu sebagai tamu, hanya saja aku suka minum. Aku menikmati momen-momen saat kepalaku jadi enteng, saat beban-beban bukannya terbang tapi malah membanjir dalam bentuk air mata. Bahkan aku menikmati situasi permissible intoxication – yakni saat terlalu banyak anggur dalam darah lalu aku jadi tidak bisa menahan hasrat buang air kecil dan bolak-balik ke toilet, dan aku menikmati bagaimana aku tetap menjalani kehidupan esok hari sekalipun dengan kondisi sakit kepala setengah mati akibat pengar. Aku suka minum, jadi aku ingin membuka sesi perjamuan ini; siapa yang menutup sesi itu urusan nanti.
 
Kita bersulang dan tidak ada yang lebih membahagiakan untukku malam itu daripada mendengarkan suara denting dua sloki yang bertabrakan – sebuah isyarat malam ini aku tidak harus kesepian; setidaknya akan ada dua orang meracau, mengutuk kehidupan, bahkan tertawa atau menangis bersama. Kuhabiskan satu sloki dengan satu teguk besar dan cepat, membuatmu sedikit takut dengan kemampuan minumku. Aku menuangkan lagi anggur ke dalam slokiku, berulang, dan berulang kali. Kutuang lagi, kutenggak dengan kecepatan minumku yang biasa untukku, namun luar biasa untukmu.

"Tolong minum lebih pelan," ujarmu. Aku bersandar ke tembok di belakangku, tersenyum.
"Agak pening, tapi memang begini caraku minum," imbuhku.
 
Kemudian aku mencondongkan tubuh ke depan, kembali meraih botol, kemudian menuangkan anggur mengisi slokimu. Kamu meneguknya pelan, walaupun kuyakin pertahanan dirimu lebih kuat daripada aku. Tiba-tiba aku tergelitik oleh pikiranku sendiri dan penilaian-penilaianku mengenaimu yang kubuat sejak sejam yang lalu, sebelum botol anggur dibuka. Aku tersenyum mendengarkan asumsi-asumsiku dalam benak yang saling bertubruk, padahal di luar aku tampak tenang ah, aku sok tahu sekali mengenaimu.
 
"Kamu cantik," katamu tiba-tiba. Aku melihatmu sambil terbelalak; aku tidak pernah menduganya.
"... Mungkin karena kamu tersenyum-senyum sembil mabuk seperti itu," ujarmu lagi cepat-cepat.
 
Aku mengeluarkan tatapan jengkel.
"Aku cantik, saat mabuk, saat pengar, dan saat sadar. Kamu saja yang harus mabuk dulu untuk menyadarinya," gerutuku.

Kamu tertawa geli dan aku kembali menuangkan anggur untukku sendiri. Ada suatu kelegaan luar biasa mendengar tawamu. Mungkin bukan karena itu adalah kamu – tapi lebih karena aku punya lawan bicara malam ini. Aku punya seseorang yang kutuangkan minum dan menuangkanku minum. Aku punya distraksi ketika minum terlalu banyak. Aku punya pengingat batas minum agar tetap bisa fokus, entah fokus terhadap pembicaraan atau fokus pada wajahmu yang tidak kunjung memerah, tapi semakin menarik, semakin dekat, semakin wangi...

Pening, kutaruh kepalaku pada lututmu yang sedang bersila. Pening sekali, aku mual.
 
"Makanya jangan terlalu rakus," suaramu berdengung pelan, jauh di atas kepalaku. Aku tidak menanggapi.

Aku suka lututmu yang keras – membuat kepalaku yang mulai ringan ini seolah ditarik batu pemberat, agar tak mengawang terlalu jauh. Aku memejamkan mata. Aku suka memejamkan mata dengan kuat, begitu kuat hingga aku melihat cahaya-cahaya kecil menghampiriku dari kegelapan yang entah dimana ujungnya. Rasanya seperti perjalanan ke luar angkasa dan kau ada dalam kapsul stagnan yang menembus ruang hampa dengan kecepatan cahaya.

Aku sudah melihat kerumunan cahaya itu menghampiriku – awalnya mereka datang satu-satu, melewatiku perlahan dengan unggah-ungguh permisi, lalu mereka lewat bergerombol tanpa berbelas kasih padaku yang hanya berdiri diam saja. Aku mulai menikmati serangan itu dengan penuh kelapangan ketika tiba-tiba napasku tercekat. Aku cegukan.

Sial, aku kebanyakan minum.

Tiba-tiba kurasakan jari jemarimu memijit belakang leherku, membuatku bergidik pelan. Kamu terdiam, aku terdiam. Jarimu menekan lembut leherku; kurasakan sakit kepalaku hilang perlahan – atau mungkin bukan hilang, tapi tergantikan; dengan rasa nyaman yang bertemu sapa dengan kecanggungan, dengan penuh pertanyaan apakah ini salah satu ketidaksengajaan yang ikut mengantre dari sekian banyak ketidaksengajaan yang kau sebutkan malam ini. Kepalaku mungkin sakit dan aku mulai pengar, tapi kemampuanku memproses segala persepsi yang mengawang malam ini cukup mengejutkan. Mungkin benar, kewarasan tidak pernah meninggalkan kita dalam situasi apapun; ia hanya bersembunyi saja untuk sementara waktu.

Aku bangkit perlahan meninggalkan lututmu yang keras itu. "Sudah, sudah," ujarku, sambil menengadah menatap wajahmu karena memang harus; aku ingin duduk tegak lagi untuk menenggak isi sloki, entah yang keberapa untuk malam ini.

Saat aku menatap wajahmu, aku berusaha mencari pipi yang memerah atau mata yang mengantuk; tapi sekeras apapun mencari, tak ada jejak ketidaksadaran pada mimikmu. Pipimu tidak merah dan bola matamu yang biasa terlihat cokelat, malam ini begitu gelap. Begitu gelap – hingga rasanya bermalam-malam suntuk dengan segudang anggur merah pun tak akan pernah selesai kuselami hingga dasarnya.

Lalu bibirmu menyapa bibirku lembut; begitu lembut seolah aku akan koyak dan lebur. Aku bermaksud menghitung ketidaksengajaan nomor berapakah bibirmu malam ini, tapi tanpa sadar aku terlalu sibuk membuka celah bibirku, berusaha menghirup lebih banyak darimu. Sesaat kemudian kau seperti tersadar bahwa aku tak akan koyak dan lebur – kau biarkan aku menghirup lebih banyak dirimu dalam satu kecupan yang panjang. Semakin kuhirup semakin kurasa tak lampias – kau tahu aku tak akan koyak dan lebur, dengan penuh keberanian kau rengkuh tubuhku.

Kita sibuk memberi dan merampas napas. Bibirmu seperti sayap kunang-kunang yang akan mati ketika pagi menjelang sekaligus seperti air laut yang mendesak patahan bumi sesaat sebelum pasang membinasakan. Pada satu momen, aku adalah serpihan debu di udara, menunggu kematian – di momen berikutnya, aku adalah badai yang ingin kau taklukan. Saat kukira kecupanmu reda, aku mencari tatapanmu dan berusaha meyakinkan diriku ini adalah rentetan ketidaksengajaan nomor sekian yang sama-sama tak kita perhitungkan, tapi bibirmu memintaku lagi dan kutahu, aku siap memberi.

Kulilitkan kedua lenganku pada lehermu, meniti baris-baris helai rambutmu. Aku mencoba menangkap segala aromamu yang bisa kujangkau dan tak bisa kutemukan wangi alkohol di antaranya. Wangi parfummu, wangi pipi, dan sampomu, semua menguar membentuk identitasmu, tapi tak kutemukan jejak anggur di antaranya. Asumsi-asumsiku akan ketidaksengajaanmu menjadi luntur, digantikan sejuta kata 'mungkinkah' – tapi tanganmu yang melingkar erat pada pinggangku dan matamu yang terbuka lebar menatapku sesaat sebelum ciuman-ciuman lain tiba di kulitku seolah menyuruhku untuk tidak berpikir apa-apa.

Pengar atau sadar, aku menginginkanmu.

Sengaja atau tidak sengaja, aku menikmatimu.

Kita menyesal dan terluka, itu urusan nanti.

Lalu ciumanmu berhenti dan kita sama-sama termenung, larut dalam tatapan masing-masing. Kau diam sambil mengusap pipiku pelan, seolah ingin berkata,

"Mungkin ini sengaja, tapi aku tak mau memikirkan apa-apa".

Aku lega tidak sendirian.