Minggu, 29 November 2020

Malam Kedua: Kemungkinan Yang Tidak Perlu Larut Dibayangkan

Malam Dua:
 
(Mungkin bukan malam dua juga, tapi bermalam-malam berikutnya)
 
Aku tersenyum tipis saat melihat namamu muncul di ponselku, ia berdering keras mengagetkan.
 
Aku berhitung dalam hati, "Satu... Dua... Tiga... Empat... Lima...," tapi sampai akhir ia tidak berhenti berdering. Kau serius memanggilku rupanya. Aku mengangangkatnya sambil berdeham.
 
"Halo," kataku, "Ya, kenapa?"
"Dimana?," jawabmu cepat. Belum sempat aku menjawab lengkap, kau sudah keburu memotong.
"Aku ke sana," jawabmu tak sabar, lalu telepon ditutup.

Aku tersenyum dengan sedikit jengkel, tapi kau memang begitu. Kau jarang bertanya apa yang kurasakan, karena aku selalu menumpahkan apa yang aku pikirkan. Ketika kau berargumen dan aku diam saja, berarti aku 1) merasa dirimu benar, 2) butuh waktu untuk memikirkannya, 3) merasa argumenmu benar atau tidak benar tapi aku tidak keberatan karena tidak merasa dirugikan. Malam ini, aku diam saja karena argumenmu benar dan aku sama sekali tidak keberatan mendengarmu mengoceh sampai pagi pun.

Tidak lama kemudian, kau muncul entah dari mana, berpakaian hoodie biru tua yang itu-itu saja, celana panjang jeans, dan sandal jepit. Pesanmu selalu menyuruhku buru-buru dan aku selalu berujar, "Sebentar ya," dan keluar sedikit lebih lama dari yang kau inginkan. Mungkin kau tidak tahu (dan aku berharap kau tidak akan pernah tahu), bahwa lima sampai sepuluh menit sebelum kau membombardir ponselku dengan kata "Cepat", "Ayo", "Di depan", aku sudah sangat siap. 

Penampilanku di bawah rata-rata seorang perempuan; aku tampil dengan hoodie-ku dan sepatu kets busuk yang sudah agak reyot, dengan wajah yang sedikit kurias dan bibir yang sedikit kupulas agar tidak terlalu gembel-gembel amat (walau sebenarnya aku tidak terlalu takut terlihat gembel – aku lebih takut terlihat menginginkan kedatanganmu). Aku berjalan dengan santai ke arahmu yang terlihat menggerutu sambil bilang, "Ayo" – aku suka membuatmu sedikit sebal karena menurutku itu menggemaskan. Aku duduk di belakangmu, menghirup wangimu dalam diam walau pikiranku tidak bisa diam. Wangimu maskulin – tercium seperti nutmeg dan lada – wangi perapian di tengah hutan, penuh kehangatan, pada malam hari berbintang. Rasanya aku tahu kau muncul dari mana malam ini, tapi aku tak mau banyak berpikir. Aku sudah cukup senang bisa duduk di belakangmu malam ini, tanpa peduli kau habiskan untuk apa atau dengan siapa waktu-waktu yang tak kumiliki itu.

Kau menggerutu sambil berkata bahwa kau lapar dan aku menawarkan warung kecil tempatku biasa curi-curi mengemil di malam hari. Aku memesan menu biasa; sepotong roti bakar dengan kornet dan telur, lengkap dengan teh susu hangat. Kau bingung karena tidak familiar, tapi kemudian kau memesan sepotong roti bakar dengan pisang serta cokelat dan telur mentah di dalam cangkir. Aku pikir seleramu aneh, tapi aku tidak mau berkomentar. Tidak semua yang aneh itu tidak baik. Toh kau juga sebuah keanehan yang mendadak muncul dalam hidupku; aku tidak tahu apakah kau baik atau tidak bagiku, tapi aku senang dengan anomalimu.

Pemilik warung menaruh sebuah cangkir berisi telur mentah di depanmu, kau meraih garam di sebelahku, kemudian membubuhkannya sedikit di atas telur. Setelahnya, kau menatap telur mentah itu sejenak, lalu mengaduknya pelan, dan menyeruputnya sampai habis. Aku menatapmu setengah terpukau (semua yang kurasakan akan kukurangi setengahnya, karena aku tak mau membuatmu besar kepala) – diam-diam mengagumi selera anehmu.

Aku menyeruput pelan teh susu yang kupesan kemudian tanpa sadar bersenandung pada irama lagu yang keluar dari televisi di kios. Aku lupa judul atau penyanyinya, tapi iramanya lekat pada ingatan lamaku akan kartun Minggu pagi ketika aku kecil – film kartun laki-laki yang menjadi perempuan jika tersiram air hangat.


Jatuh cinta, Ranma Ranma Ranma
Kita menjadi teman
Kita menjadi teman
Kita menjadi teman
Selamanya...

Lalu kau bersenandung bersamaku penuh semangat, melantunkan "Kita menjadi teman selamanya!", berjoget khasmu – berjoget dengan lengan patah-patah seperti Patrick Star. Tawa renyahmu terdengar setelahnya, kemudian kau mengejekku, "Dasar tua".



"Kamu juga," balasku, "Kamu bahkan lebih tua dariku sedikit."
Kau memang lebih tua dariku, tapi kelakuanmu tidak, imbuhku lagi dalam hati.

"Iya tua," ucapmu, "Tapi aku beruntung diberkahi acara televisi pagi yang seperti itu di hari Minggu. Jika aku lahir terlambat, mungkin aku tidak punya kenangan acara Minggu pagi yang bagus-bagus."

"Tidak ada acara televisi yang jelek, termasuk acara musik pagi yang norak itu, ya," sanggahku.

Lalu kau tertawa lagi, lebih keras. "Itu keren pada masanya, tetap zaman terbaik dalam hidup," katamu sambil tersenyum.

Kemudian kau berdendang dengan cengkok dan nada melayu yang mungkin terakhir kali kudengarkan dengan rutin 13 tahun yang lalu. Lagu-lagu puberku; teman sedih dan sepiku saat aku menyukai seseorang tapi tidak tahu bagaimana menyatakannya, saat aku ingin bergandengan tangan tapi orang bilang bergandengan tangan dapat membuatku hamil, saat aku ingin punya ponsel karena aku ingin tahu kabar orang yang kusukai tanpa harus menelepon dari telepon rumah dan didengarkan orang tuaku.

Setelahnya kau mengelukan yel-yel La La La Ye Ye Ye sambil berjoget dengan gaya cuci-jemur – joget yang populer sekitar 13 tahun lalu. Pemilik kios mengintip dari balik dapur dengan penasaran karena suaramu terlalu berisik dan aku melontarkan tatapan menyesal, seolah minta maaf. Kau tertawa terbahak-bahak dan tetap melanjutkan jogetmu yang jelek dan amburadul. Rasanya aku ingin membuang muka, tapi di satu sisi aku tetap ingin melihatmu melawak. Biasanya aku tak akan tertawa karena hal-hal seperti ini, tapi kau selalu menjadi anomali yang aku sukai.

Lelah tertawa, aku menyeruput teh susuku yang dari tadi baru kuhabiskan sedikit karena mulutku terlalu asyik tersenyum karena lawakanmu – yang mungkin tidak akan berefek sama padaku jika orang lain yang melakukannya. Kau bertanya lagi padaku, "Berarti kamu juga tahu artis-artis yang CD-nya akan kita dapatkan jika membeli ayam di restoran ayam itu?"

Aku mengangguk, "Ya pasti tahu," imbuhku, "Aku banyak menghabiskan waktu di restoran ayam itu, berpacaran". Kau menjulurkan lidah seolah mengejek. Aku jadi mengingat hal-hal yang sudah lama tidak kupirkan. "Aku mulai pacaran di restoran ayam itu, janjian bertemu di sana, bertengkar di sana, dan putus di sana," kataku pelan.

"Ah iya, ada lagu yang kusuka," katamu cepat. Aku menyeruput lagi tehku sambil menerawang. Bukan masa lalu yang nyaman, tapi 13 tahun sudah cukup untuk membuatnya menutup dan terlupakan.

Kutak biasa tatap matanya!
Buatku jadi gila!
Engkau dan dia mengaku saja!
Teman atau teman!

Semakin malam suaramu semakin sumbang. Aku bersyukur kau hanya menyuruput telur mentah saja, bukannya anggur merah seperti waktu itu. Mungkin jika kita berdua mabuk sekarang, kau akan teriak bernyanyi di atas meja dan aku akan tersenyum-senyum sendiri di pojok ruangan lalu tertidur – kita berdua akan di blacklist dari seluruh kios roti bakar setelahnya. Suara sumbang itu semakin membuatku terseyum semakin larut. Walaupun suara itu mengganggu ketertiban umum dan membuat kau dipukuli massa sekalipun, aku akan sukarela membawamu kabur sambil berlari dan tertawa terbahak-bahak. Pemilik warung sudah tidak lagi peduli, kau dan aku terus mengobrol sambil berbalas lirik.

Aku, 13 tahun lalu, tidak akan menyangka bahwa lagu yang membuatku bersedih akan membuatku tertawa terbahak-bahak malam ini. Sering kali aku menyaksikan orang-orang tergila-gila dengan kapsul waktu yang merupakan setumpuk kenangan yang diletakan di dalam boks atau tabung lalu dikubur, untuk dibuka bertahun-tahun kemudian. Rasanya aku tahu dimana letak keajaiban sebuah kapsul waktu –  yang ajaib darinya bukanlah kenangan-kenangan yang kembali teringat setelah disimpan baik dalam kapsul, tapi tranformasi emosi yang dirasakan ketika kenangan-kenangan itu terbuka kembali. Kenangan indah yang dulu dikubur untuk dibangkitkan lagi emosi bahagianya bisa jadi menimbulkan rasa sedih di hari ini. Tapi malam ini, kenangan buruk dan sejumlah lagu sedih yang kukubur dalam sebuah kapsul dalam lobus temporal-ku menimbulkan gelak tawa berkepanjangan, yang aku tak pernah tahu bisa terjadi karenamu.

Tidak semua hal baik akan menjadi kenangan baik dan tidak semua hal buruk akan menjadi kenangan buruk. Semua erat bergantung pada waktu – dan kau yang ada di waktuku sekarang, membuat hal buruk menjadi terasa lebih baik. Oleh karenanya, kehadiran dan segala anomalimu, walaupun kadang menyusahkan, (diam-diam) sangat kusyukuri.

Malam semakin larut dan kita beranjak meninggalkan warung. Kau tidak membawa uang untuk membayar dan merengek supaya aku meminjamkan uang. Rengekanmu tidak membuatku sebal (atau mungkin belum) dan aku dengan baik hati meminjamkan uang. Memang aku selalu terlalu baik padamu, semoga kau tidak sadar, pikirku dalam hati.

Aku kembali duduk di belakangmu, kau memacu sepeda motormu dengan kecepatan pelan.

"Selera musikmu norak," celetukmu tiba-tiba. Aku terperangah di balik punggungmu. Bisa-bisanya!
"Lho, selera musikmu lebih norak lagi, jogetmu juga jelek," balasku.

Suara angin berderu pelan, menerpa pelan wajah kita. Suaramu masih jelas terdengar.

"Tapi menurutmu, mungkin tidak, kita bisa bersama?" kau bertanya. Angin seolah tak mau membantuku pura-pura tuli – suaramu terdengar jelas sekali. Aku diam sejenak.

"Mungkin tidak. Kalau bersama denganmu setiap hari, nanti aku bisa mati kesal," aku setengah serius dengan ucapanku. Aku punya keyakinan pribadi bahwa seseorang yang bisa membuatmu tertawa terbahak-bahak adalah seseorang yang juga bisa membuatmu kesal setengah mati.

Kau berjalan dengan kecepatan yang sama dalam diam. Aku menatap punggungmu, menyesap wangimu yang menguar dari balik hoodie biru tuamu. Rasanya masih seperti berkemah di tengah hutan, di depan api unggun, di bawah bintang-bintang.

"Tapi menurutku, mungkin kita bisa saja bersama-sama dan bahagia," katamu memecah keheningan.
Aku tertegun di belakangmu dan sebelum aku dapat menjawab, kau menambahkan,
"...Jika kita bertemu lebih cepat".

Aku tak tahu harus membalas apa, jadi aku memilih diam saja sambil melihat langit yang tak berbintang malam ini. Tiba-tiba kau meraih tangan kiriku, melingkarkannya pada perutmu. Aku meraba sakumu dan mencoba bercanda, "Iya, aku tahu tidak ada dompet." Tapi kau hanya diam menggenggam tanganku yang melingkar pada perutmu dengan canggung.

Malam ini, aku meneguk teh susu hangat dan kau menelan telur mentah yang dibubuhi garam bulat-bulat – tak ada anggur merah dan aksi lupa diri. Malam ini, tak ada bibir yang bersentuh tanpa sadar maupun tanpa malu, hanya ada tangan-tangan yang saling menggenggam dalam canggung tak berkesudahan. Malam ini, aku hanya berapa puluh sentimeter duduk di belakangmu, tapi pikiranku erat didekap wangi api unggun dalam gelap hutan di antah berantah.

Satu lirik bodoh kembali terngiang di pikiranku.

Jatuh cinta, Ranma Ranma Ranma
Kita menjadi teman
Kita menjadi teman

Kita menjadi teman
Selamanya...

Aku menatap punggungmu – bersyukur ia tak memiliki mata. Aku pun berharap pikiranku tak terhantar lewat jari-jari yang saling bertaut dalam hening panjang.

Apapun anomali yang terjadi dan kemungkinan apapun yang ditimbulkannya, semua itu seharusnya tidak perlu larut dibayangkan.