Selasa, 14 April 2020

Mungkin, Diam-Diam Saja

Lagi dan lagi, kita memangkas 

waktu untuk menghampiri yang jauh 

dengan harap dan cemas 

kita melompat, tergelincir dengan riuh – 

di antah berantah roda-roda ini mulai lemas, 

namun hidup binar matamu tak kunjung lesu.


Lalu aku akan diam-diam jatuh cinta;  

Entah pada langit dan awan berarak, 

pada sawah kuning meraya, 

atau pada pundak lebar yang terasa berjarak, 

guyonan yang renyah 

terhalang suara angin berderak.


Aku akan menyangga kepala tetap tegak

agar tak ada hati yang landai padamu; 

Sekalipun kerikil membuat gejolak, 

giat kupelihara jengkal ini darimu.


Lalu aku akan diam-diam jatuh cinta;

mungkin lebih tinggi dari langit dan awan berarak, 

mungkin lebih luas dari sawah kuning meraya, 

pada pundak lebar yang kutahu tak pernah tahu aku, 

guyon lepas yang tak pernah palsu, 

dan segala darimu yang tak akan pernah jadi milikku.


 – Aku selalu ingin mendekap punggungmu,

tapi pada akhirnya, aku tak bisa apa-apa;

dan akan selalu diam-diam saja.

 
Kuning meraya tertutup kabut; begitupun sesak bingung yang banyak, kutelan sendiri.

Sabtu, 04 April 2020

Kita hanya berliku, tidak kusut.

Karena kita sudah dewasa, aku ingin meluruskan beberapa hal padamu.

Seharusnya, ketika kita sudah dewasa, hal-hal akan menjadi lurus dengan sendirinya; dengan bantuan akal budi atau memang kedewasaan itu adalah sebuah garis lurus yang seluruh bagiannya proporsional tanpa kurang satu titik apapun, sehingga ia cenderung membosankan. Tapi, pada kasus kita, hal-hal lurus menjadi berliku – aku lebih suka memanggilnya begitu dibanding 'kusut' – entah karena akal budi kita sama berlikunya dengan pilihan-pilihan yang telah kita ambil, entah karena kita melakukan semacam penolakan untuk menjadi dewasa, atau kedewasaan itu hanyalah garis compang-camping yang ditambal dengan banyak titik sehingga terlihat lurus.

Karena kita sudah dewasa, aku ingin menghapus saja wejangan barusan tentang lurus dan berliku.
Aku akan coba masuk pada intinya saja agar keseluruhan pembicaraan ini tidak kusut.

Seharusnya, ketika kita sudah dewasa, ada hal-hal yang kita akan letakan berdasarkan skala prioritas; menjadi dewasa menyadari bahwa seluruh sistem pada dasarnya menggunakan hierarki. Apa yang kita butuhkan akan memiliki hierarki yang lebih tinggi dibandingkan dengan apa yang kita inginkan. Tapi ujung-ujungnya, yang kita butuhkan terdiri dari sekian banyak elemen yang memaksa kita memilih yang paling dibutuhkan di antara yang butuh – dan tanpa sadar kita membuat hierarki dalam hierarki. Kasta kecil dalam kasta besar. Pada kasus kita yang memang sudah berliku – sekali lagi, ini tidak kusut – kau menginginkanku.

Kau menginginkanku; aku bisa membacanya dari matamu, dari jari-jarimu yang menyentuh jari-jariku saat tidak ada yang memperhatikan, dan dari bisikanmu saat semua orang sibuk, "Nanti malam, waktu biasa". Walaupun aku berusaha sekasual mungkin menanggapinya, namun yang terjadi di dalam benakku selalu berkali-kali lipat lebih masif: Ketika kau menginginkanku, aku jadi menginginkanmu balik, dan membutuhkanmu.

Seharusnya, ketika kita sudah dewasa, kita (kurasa seharusnya) lebih toleran terhadap banyak hal; paling seringnya terhadap perbedaan dan kesenjangan. Karena hidup semakin lama akan semakin menyebalkan dan hal tersebut tidak dapat diubah, maka kita sebaiknya berkonsentrasi untuk mengubah apa yang bisa diubah, yakni daya penerimaan. Tapi, pada kasus kita yang berliku ini – atau mungkin pada kasusku saja – aku yang seharusnya sudah dewasa ini tidak bisa menerima perbedaan skala prioritas dan kesenjangan hierarki kebutuhan dan keinginan di antara kita.

Malam itu, pukul 11, aku lapar dan mengantuk berat menunggu perwujudan dari bisikanmu siang itu. Ini waktu biasamu.

Tengah malam, aku lapar berat, mengantuk berat, dan mulai mempertanyakan kenapa aku tidak memilih jadi orang dewasa yang lurus-lurus saja.

Tengah malam lewat 30 menit, aku lapar berat, mengantuk berat, dan mengoreksi diri bahwa tidak apa jika aku tidak jadi orang dewasa lurus, tapi kenapa aku harus memelintir diri dalam kekusutan bersamamu?

Pagi itu, pukul 1, aku lapar berat, mengantuk berat, dan mengoreksi diri bahwa aku tak seharusnya begini.

Pada kasus kita yang memang sudah berliku karena akal budi kita yang berliku, kita tidak bisa punya pakem yang lurus. Tidak setiap mata yang terluka dibalas melukai mata. Tidak setiap ditumpahkan kasih, dilemparkan balik beri.
Tidak setiap hal harus setara.
Tidak setiap rasa harus saling.

Aku bebas menginginkanmu bahkan membutuhkanmu (sekalipun kulakukan itu dibalut dengan berlapis-lapis pertahananku agar kamu tak begitu berbesar hati), tapi kamu boleh tidak melakukannya balik.
Aku meletakanmu di hierarki yang cukup tinggi (tentu saja aku tidak membiarkanmu tahu), tapi kamu boleh meletakanku dimana saja. 

Kita bisa saja berhenti pada titik komensalisme, tidak perlu mutual. Tidak harus sama beri. Tidak harus sama terima. Kita bukan hanya tidak punya pakem yang lurus  – kita tidak punya pakem sama sekali.

Pukul 1 lewat setengah jam, telepon berdering, kulihat namamu sebagai perwujudan bisikan siang itu. Kutunggu 3 detik, kemudian kuangkat panggilanmu, pura-pura tenang dan mengantuk. Kau bilang kau rindu, "tunggu aku", katamu lagi.
Di seberang teleponmu, rasionalisasi perlakuanmu padaku yang kubuat setengah jam lalu mendadak buyar ditendang egoku, yang mungkin dari awal sudah agak terluka namun kunormalkan saja supaya tetap terasa nyaman. 
"Aku mengantuk, mungkin lain kali," sahutku, masih pura-pura. Rasionalisasi yang kubuat semakin irelevan ketika aku mendengar kau bilang, "Oke, lain kali", lalu telepon ditutup.

Saat itu, rasionalisasiku diseruduk habis oleh egoku yang menjelma sederetan pertanyaan (yang seharusnya bersifat) retorik mengenai etika bersosialisasi:  
"Apakah 'membuat seseorang menunggu' bukan jenis kesalahan yang membutuhkan kata maaf dalam konteks hubungan interpersonal?" 
"Apakah orang lain tidak selalu membutuhkan penjelasan terhadap perlakuan yang diterimanya?" 
Tapi, berhubung sejak awal kita memilih untuk memelintir diri bersama dalam kekusutan ini, tentu saja semua pertanyaan egoku ini yang menjadi irelevan.

Pagi itu, pukul 2, aku lapar berat dan sama sekali tidak mengantuk, kuputuskan rasionalisasiku terhadap perlakuanmu dan egoku sama-sama memenangkanku. Aku pergi keluar mencari makanan, makan dengan khidmat, dan melanggengkan ego untuk membuat status – yang dengan cepat dibalas olehmu dengan nada yang kupikir sedikit menunjukan protes, "Tadi kamu mengantuk, aku harusnya disana".

Aku memenangkan egoku lebih lanjut tanpa mengabaikan rasionalisasiku – hanya pagi ini saja – kuabaikan kata-katamu. 
Aku tak mau repot-repot membayangkan apakah kau memikirkan jawaban pertanyaan-pertanyaan retorikku atau tidak. 
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Malam tadi, semua kusut. 
Tapi aku berjanji, setelah aku kenyang dan tidur, kita akan kembali menjadi berliku saja, tidak kusut.

Kita dewasa tapi tak juga lurus, tak juga kusut. Hanya berliku.