Karena kita sudah
dewasa, aku ingin meluruskan beberapa hal padamu.
Seharusnya,
ketika kita sudah dewasa, hal-hal akan menjadi lurus dengan sendirinya; dengan
bantuan akal budi atau memang kedewasaan itu adalah sebuah garis lurus yang
seluruh bagiannya proporsional tanpa kurang satu titik apapun, sehingga ia
cenderung membosankan. Tapi, pada kasus kita, hal-hal lurus menjadi berliku – aku lebih suka
memanggilnya begitu dibanding 'kusut' – entah karena
akal budi kita sama berlikunya dengan pilihan-pilihan yang telah kita ambil,
entah karena kita melakukan semacam penolakan untuk menjadi dewasa, atau
kedewasaan itu hanyalah garis compang-camping yang ditambal dengan banyak titik
sehingga terlihat lurus.
Karena
kita sudah dewasa, aku ingin menghapus saja wejangan barusan tentang lurus dan
berliku.
Aku akan
coba masuk pada intinya saja agar keseluruhan pembicaraan ini tidak kusut.
Seharusnya,
ketika kita sudah dewasa, ada hal-hal yang kita akan letakan berdasarkan skala
prioritas; menjadi dewasa menyadari bahwa seluruh sistem pada dasarnya
menggunakan hierarki. Apa yang kita butuhkan akan memiliki hierarki yang lebih
tinggi dibandingkan dengan apa yang kita inginkan. Tapi ujung-ujungnya, yang
kita butuhkan terdiri dari sekian banyak elemen yang memaksa kita memilih yang
paling dibutuhkan di antara yang butuh – dan tanpa sadar kita membuat hierarki
dalam hierarki. Kasta kecil dalam kasta besar. Pada kasus kita yang memang
sudah berliku – sekali lagi, ini tidak kusut
– kau menginginkanku.
Kau menginginkanku; aku bisa membacanya dari matamu, dari jari-jarimu yang menyentuh jari-jariku saat tidak ada yang memperhatikan, dan dari bisikanmu saat semua orang sibuk, "Nanti malam, waktu biasa". Walaupun aku berusaha sekasual mungkin menanggapinya, namun yang terjadi di dalam benakku selalu berkali-kali lipat lebih masif: Ketika kau menginginkanku, aku jadi menginginkanmu balik, dan membutuhkanmu.
Kau menginginkanku; aku bisa membacanya dari matamu, dari jari-jarimu yang menyentuh jari-jariku saat tidak ada yang memperhatikan, dan dari bisikanmu saat semua orang sibuk, "Nanti malam, waktu biasa". Walaupun aku berusaha sekasual mungkin menanggapinya, namun yang terjadi di dalam benakku selalu berkali-kali lipat lebih masif: Ketika kau menginginkanku, aku jadi menginginkanmu balik, dan membutuhkanmu.
Seharusnya,
ketika kita sudah dewasa, kita (kurasa
seharusnya) lebih toleran terhadap banyak hal; paling seringnya terhadap
perbedaan dan kesenjangan. Karena hidup semakin lama akan semakin menyebalkan
dan hal tersebut tidak dapat diubah, maka kita sebaiknya berkonsentrasi untuk
mengubah apa yang bisa diubah, yakni daya penerimaan. Tapi, pada kasus kita
yang berliku ini – atau mungkin pada kasusku saja – aku yang seharusnya sudah
dewasa ini tidak bisa menerima perbedaan skala prioritas dan kesenjangan
hierarki kebutuhan dan keinginan di antara kita.
Malam
itu, pukul 11, aku lapar dan mengantuk berat menunggu perwujudan dari bisikanmu
siang itu. Ini waktu biasamu.
Tengah
malam, aku lapar berat, mengantuk berat, dan mulai mempertanyakan kenapa aku
tidak memilih jadi orang dewasa yang lurus-lurus saja.
Tengah
malam lewat 30 menit, aku lapar berat, mengantuk berat, dan mengoreksi diri
bahwa tidak apa jika aku tidak jadi orang dewasa lurus, tapi kenapa aku harus
memelintir diri dalam kekusutan
bersamamu?
Pagi itu,
pukul 1, aku lapar berat, mengantuk berat, dan mengoreksi diri bahwa aku tak
seharusnya begini.
Pada
kasus kita yang memang sudah berliku karena akal budi kita yang berliku, kita
tidak bisa punya pakem yang lurus. Tidak setiap mata yang terluka dibalas
melukai mata. Tidak setiap ditumpahkan kasih, dilemparkan balik beri.
Tidak setiap hal harus setara.
Tidak setiap rasa harus saling.
Tidak setiap hal harus setara.
Tidak setiap rasa harus saling.
Aku bebas
menginginkanmu bahkan membutuhkanmu (sekalipun kulakukan itu dibalut dengan
berlapis-lapis pertahananku agar kamu tak begitu berbesar hati), tapi kamu
boleh tidak melakukannya balik.
Aku
meletakanmu di hierarki yang cukup tinggi (tentu saja aku tidak membiarkanmu
tahu), tapi kamu boleh meletakanku dimana saja.
Kita bisa
saja berhenti pada titik komensalisme, tidak perlu mutual. Tidak harus sama
beri. Tidak harus sama terima. Kita bukan hanya tidak punya pakem yang
lurus – kita
tidak punya pakem sama sekali.
Pukul 1
lewat setengah jam, telepon berdering, kulihat namamu sebagai perwujudan
bisikan siang itu. Kutunggu 3 detik, kemudian kuangkat panggilanmu, pura-pura
tenang dan mengantuk. Kau bilang kau rindu, "tunggu aku", katamu lagi.
Di seberang teleponmu, rasionalisasi perlakuanmu padaku yang kubuat setengah jam lalu mendadak buyar ditendang egoku, yang mungkin dari awal sudah agak terluka namun kunormalkan saja supaya tetap terasa nyaman.
Di seberang teleponmu, rasionalisasi perlakuanmu padaku yang kubuat setengah jam lalu mendadak buyar ditendang egoku, yang mungkin dari awal sudah agak terluka namun kunormalkan saja supaya tetap terasa nyaman.
"Aku
mengantuk, mungkin lain kali," sahutku, masih pura-pura. Rasionalisasi
yang kubuat semakin irelevan ketika aku mendengar kau bilang, "Oke, lain
kali", lalu telepon ditutup.
Saat itu,
rasionalisasiku diseruduk habis oleh egoku yang menjelma sederetan pertanyaan
(yang seharusnya bersifat) retorik mengenai etika bersosialisasi:
"Apakah 'membuat seseorang menunggu' bukan jenis
kesalahan yang membutuhkan kata maaf dalam konteks hubungan
interpersonal?"
"Apakah orang lain tidak selalu membutuhkan
penjelasan terhadap perlakuan yang diterimanya?"
Tapi,
berhubung sejak awal kita memilih untuk memelintir diri bersama dalam kekusutan
ini, tentu saja semua pertanyaan egoku ini yang menjadi irelevan.
Pagi itu,
pukul 2, aku lapar berat dan sama sekali tidak mengantuk, kuputuskan
rasionalisasiku terhadap perlakuanmu dan egoku sama-sama memenangkanku. Aku
pergi keluar mencari makanan, makan dengan khidmat, dan melanggengkan ego untuk
membuat status – yang dengan cepat dibalas olehmu dengan nada yang kupikir
sedikit menunjukan protes, "Tadi kamu mengantuk, aku harusnya
disana".
Aku
memenangkan egoku lebih lanjut tanpa mengabaikan rasionalisasiku – hanya pagi ini saja – kuabaikan kata-katamu.
Aku tak
mau repot-repot membayangkan apakah kau memikirkan jawaban
pertanyaan-pertanyaan retorikku atau tidak.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Malam
tadi, semua kusut.
Tapi aku
berjanji, setelah aku kenyang dan tidur, kita akan kembali menjadi berliku saja, tidak kusut.
Kita dewasa tapi tak juga lurus, tak juga kusut. Hanya berliku. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar