Minggu, 13 September 2020

Malam Pertama: Ketidaksengajaan Yang Tidak Perlu Kita Pikirkan

Malam satu:
 
Aku selalu tersenyum tipis pada kepercayaanmu akan ketidaksengajaan.
Kamu berdiri di hadapanku malam itu, menerawang sambil tersenyum, mengatakan bahwa agak aneh kamu berakhir di depan rumahku malam ini dan kamu tidak pernah membayangkan ini akan terjadi. Tadi siang kita pergi menonton bioskop dengan teman-teman, kemudian pulang ke rumah masing-masing, dan di sinilah kamu malam ini – tiba-tiba tergerak menemuiku.
 
Aku bertanya, "Kenapa?"
Kamu menjawab, "Tidak tahu, ketidaksengajaan saja."
 
Aku tersenyum mendengar jawaban yang sungguh ada di awang-awang itu tapi jawabanmu sudah kuperhitungkan dan kuterima. Sebagai orang yang diam-diam memperhatikanmu, aku tahu kamu bukan tipe yang akan keras memilih satu hal dibanding hal lain. Kamu selalu berusaha berdiri diam di tengah tali tipis – berusaha menjadi abu-abu di tengah hitam dan putih atau menjadi yang moderat di antara yang baik dan jahat.
 
"Mau minum?," tawarku sambil menyiapkan sloki.
"Boleh, sedikit saja," katamu. Aku tersenyum – aku lega punya teman bicara, setidaknya malam ini.
 
Kutuang anggur murah itu ke dalam slokiku, kemudian ke slokimu. Bukan aku tidak menghormatimu sebagai tamu, hanya saja aku suka minum. Aku menikmati momen-momen saat kepalaku jadi enteng, saat beban-beban bukannya terbang tapi malah membanjir dalam bentuk air mata. Bahkan aku menikmati situasi permissible intoxication – yakni saat terlalu banyak anggur dalam darah lalu aku jadi tidak bisa menahan hasrat buang air kecil dan bolak-balik ke toilet, dan aku menikmati bagaimana aku tetap menjalani kehidupan esok hari sekalipun dengan kondisi sakit kepala setengah mati akibat pengar. Aku suka minum, jadi aku ingin membuka sesi perjamuan ini; siapa yang menutup sesi itu urusan nanti.
 
Kita bersulang dan tidak ada yang lebih membahagiakan untukku malam itu daripada mendengarkan suara denting dua sloki yang bertabrakan – sebuah isyarat malam ini aku tidak harus kesepian; setidaknya akan ada dua orang meracau, mengutuk kehidupan, bahkan tertawa atau menangis bersama. Kuhabiskan satu sloki dengan satu teguk besar dan cepat, membuatmu sedikit takut dengan kemampuan minumku. Aku menuangkan lagi anggur ke dalam slokiku, berulang, dan berulang kali. Kutuang lagi, kutenggak dengan kecepatan minumku yang biasa untukku, namun luar biasa untukmu.

"Tolong minum lebih pelan," ujarmu. Aku bersandar ke tembok di belakangku, tersenyum.
"Agak pening, tapi memang begini caraku minum," imbuhku.
 
Kemudian aku mencondongkan tubuh ke depan, kembali meraih botol, kemudian menuangkan anggur mengisi slokimu. Kamu meneguknya pelan, walaupun kuyakin pertahanan dirimu lebih kuat daripada aku. Tiba-tiba aku tergelitik oleh pikiranku sendiri dan penilaian-penilaianku mengenaimu yang kubuat sejak sejam yang lalu, sebelum botol anggur dibuka. Aku tersenyum mendengarkan asumsi-asumsiku dalam benak yang saling bertubruk, padahal di luar aku tampak tenang ah, aku sok tahu sekali mengenaimu.
 
"Kamu cantik," katamu tiba-tiba. Aku melihatmu sambil terbelalak; aku tidak pernah menduganya.
"... Mungkin karena kamu tersenyum-senyum sembil mabuk seperti itu," ujarmu lagi cepat-cepat.
 
Aku mengeluarkan tatapan jengkel.
"Aku cantik, saat mabuk, saat pengar, dan saat sadar. Kamu saja yang harus mabuk dulu untuk menyadarinya," gerutuku.

Kamu tertawa geli dan aku kembali menuangkan anggur untukku sendiri. Ada suatu kelegaan luar biasa mendengar tawamu. Mungkin bukan karena itu adalah kamu – tapi lebih karena aku punya lawan bicara malam ini. Aku punya seseorang yang kutuangkan minum dan menuangkanku minum. Aku punya distraksi ketika minum terlalu banyak. Aku punya pengingat batas minum agar tetap bisa fokus, entah fokus terhadap pembicaraan atau fokus pada wajahmu yang tidak kunjung memerah, tapi semakin menarik, semakin dekat, semakin wangi...

Pening, kutaruh kepalaku pada lututmu yang sedang bersila. Pening sekali, aku mual.
 
"Makanya jangan terlalu rakus," suaramu berdengung pelan, jauh di atas kepalaku. Aku tidak menanggapi.

Aku suka lututmu yang keras – membuat kepalaku yang mulai ringan ini seolah ditarik batu pemberat, agar tak mengawang terlalu jauh. Aku memejamkan mata. Aku suka memejamkan mata dengan kuat, begitu kuat hingga aku melihat cahaya-cahaya kecil menghampiriku dari kegelapan yang entah dimana ujungnya. Rasanya seperti perjalanan ke luar angkasa dan kau ada dalam kapsul stagnan yang menembus ruang hampa dengan kecepatan cahaya.

Aku sudah melihat kerumunan cahaya itu menghampiriku – awalnya mereka datang satu-satu, melewatiku perlahan dengan unggah-ungguh permisi, lalu mereka lewat bergerombol tanpa berbelas kasih padaku yang hanya berdiri diam saja. Aku mulai menikmati serangan itu dengan penuh kelapangan ketika tiba-tiba napasku tercekat. Aku cegukan.

Sial, aku kebanyakan minum.

Tiba-tiba kurasakan jari jemarimu memijit belakang leherku, membuatku bergidik pelan. Kamu terdiam, aku terdiam. Jarimu menekan lembut leherku; kurasakan sakit kepalaku hilang perlahan – atau mungkin bukan hilang, tapi tergantikan; dengan rasa nyaman yang bertemu sapa dengan kecanggungan, dengan penuh pertanyaan apakah ini salah satu ketidaksengajaan yang ikut mengantre dari sekian banyak ketidaksengajaan yang kau sebutkan malam ini. Kepalaku mungkin sakit dan aku mulai pengar, tapi kemampuanku memproses segala persepsi yang mengawang malam ini cukup mengejutkan. Mungkin benar, kewarasan tidak pernah meninggalkan kita dalam situasi apapun; ia hanya bersembunyi saja untuk sementara waktu.

Aku bangkit perlahan meninggalkan lututmu yang keras itu. "Sudah, sudah," ujarku, sambil menengadah menatap wajahmu karena memang harus; aku ingin duduk tegak lagi untuk menenggak isi sloki, entah yang keberapa untuk malam ini.

Saat aku menatap wajahmu, aku berusaha mencari pipi yang memerah atau mata yang mengantuk; tapi sekeras apapun mencari, tak ada jejak ketidaksadaran pada mimikmu. Pipimu tidak merah dan bola matamu yang biasa terlihat cokelat, malam ini begitu gelap. Begitu gelap – hingga rasanya bermalam-malam suntuk dengan segudang anggur merah pun tak akan pernah selesai kuselami hingga dasarnya.

Lalu bibirmu menyapa bibirku lembut; begitu lembut seolah aku akan koyak dan lebur. Aku bermaksud menghitung ketidaksengajaan nomor berapakah bibirmu malam ini, tapi tanpa sadar aku terlalu sibuk membuka celah bibirku, berusaha menghirup lebih banyak darimu. Sesaat kemudian kau seperti tersadar bahwa aku tak akan koyak dan lebur – kau biarkan aku menghirup lebih banyak dirimu dalam satu kecupan yang panjang. Semakin kuhirup semakin kurasa tak lampias – kau tahu aku tak akan koyak dan lebur, dengan penuh keberanian kau rengkuh tubuhku.

Kita sibuk memberi dan merampas napas. Bibirmu seperti sayap kunang-kunang yang akan mati ketika pagi menjelang sekaligus seperti air laut yang mendesak patahan bumi sesaat sebelum pasang membinasakan. Pada satu momen, aku adalah serpihan debu di udara, menunggu kematian – di momen berikutnya, aku adalah badai yang ingin kau taklukan. Saat kukira kecupanmu reda, aku mencari tatapanmu dan berusaha meyakinkan diriku ini adalah rentetan ketidaksengajaan nomor sekian yang sama-sama tak kita perhitungkan, tapi bibirmu memintaku lagi dan kutahu, aku siap memberi.

Kulilitkan kedua lenganku pada lehermu, meniti baris-baris helai rambutmu. Aku mencoba menangkap segala aromamu yang bisa kujangkau dan tak bisa kutemukan wangi alkohol di antaranya. Wangi parfummu, wangi pipi, dan sampomu, semua menguar membentuk identitasmu, tapi tak kutemukan jejak anggur di antaranya. Asumsi-asumsiku akan ketidaksengajaanmu menjadi luntur, digantikan sejuta kata 'mungkinkah' – tapi tanganmu yang melingkar erat pada pinggangku dan matamu yang terbuka lebar menatapku sesaat sebelum ciuman-ciuman lain tiba di kulitku seolah menyuruhku untuk tidak berpikir apa-apa.

Pengar atau sadar, aku menginginkanmu.

Sengaja atau tidak sengaja, aku menikmatimu.

Kita menyesal dan terluka, itu urusan nanti.

Lalu ciumanmu berhenti dan kita sama-sama termenung, larut dalam tatapan masing-masing. Kau diam sambil mengusap pipiku pelan, seolah ingin berkata,

"Mungkin ini sengaja, tapi aku tak mau memikirkan apa-apa".

Aku lega tidak sendirian.