Pagi Ketiga:
Kamu diam saja.
Sejak semalam, kamu diam saja. Ada beberapa jenis diam di dunia ini. Yang pertama ialah diam yang menyenangkan, seperti saat kau berada dalam hubungan yang lama dan stabil – dimana kedua belah pihak saling bersebelahan melakukan aktivitas masing-masing dalam diam, atau malah saling berdekapan tanpa berbicara. Yang kedua ialah diam yang membingungkan, contohnya adalah saat seseorang marah dan mendiamkan kita, tapi kita tidak tahu dimana salahnya kita. Yang ketiga adalah diam yang menyebalkan, misalnya saat seseorang memiliki ego yang tinggi dan mengagungkan argumennya sendiri (padahal argumen tersebut invalid), ia diam saja mempertahankan dirinya. Jenis diammu adalah sebuah campuran sempurna antara diam jenis kedua dan jenis ketiga – jenis diam yang membuat aku bingung dan sebal, karena saat aku bertanya kamu kenapa, kamu diam saja. Aku mulai familiar dengan sikapmu yang menganggap bahwa membicarakan kelemahan atau ketidaknyamanan diri dapat memporakporandakan ego – dan aku tak menyukainya.
Aku berusaha memberi makan egomu secara diam-diam dengan mengintrospeksi diri, tanpa lebih lanjut bertanya lagi pagi itu. Kubiarkan saja egomu yang berkobar-kobar itu tetap berpendar membuat mataku sakit. Aku mengerenyitkan dahi, melakukan kilas balik cepat di dalam otakku.
"Kamu tahu," ujarku tiba-tiba, "Aku pikir dia orang baik. Sopan, pintar, dapat diandalkan."
Kita membicarakan seorang rekan kerja laki-laki. Rekan kerja yang baik, sopan, pintar, saleh, berjiwa pemimpin, dan dapat diandalkan – too good to be true, but he does exist. Percakapan itu terjadi begitu saja di sebuah aplikasi chatting, karena malam itu kita tidak sedang bersebelahan makan cemilan di warung seperti biasanya.
"Kalau begitu, jika dia tukar posisi denganku sebagai temanmu, bagaimana?," tanyamu tiba-tiba.
Aku asal saja bilang, "Boleh-boleh saja sih."
Lalu dari situ, diam membingungkan dan diam menyebalkan itu bercampur-campur menjadi sebuah adonan keras yang susah sekali dibentuk maupun diurai. Adonan yang gagal. Adonan yang membuatmu mengumpat "Dasar bodoh!" sambil menatap nanar. Adonan yang ingin kau tinggalkan namun tak bisa, mengingat sudah banyak waktu yang kau investasikan padanya.
Saat itu, aku sedang berada di depan layar laptop-ku, mengerjakan beberapa dokumen sambil mendengarkan lagu. Sekalipun dokumen-dokumen itu mepet deadline, aku akan selalu tergelitik meneruskan pembicaraan kita. Setelah kalimat "Boleh-boleh saja sih" yang kulontarkan, balasanmu yang tadinya dapat kuterima kurang dari 1 menit sekali, tak terlihat lagi wujudnya. Sambil mendengarkan lagu, aku masih sabar menunggu. Kubuka platform pemutar musik online dan kulihat kau ada di sana. Online, dengan lagu yang sedang kau dengarkan. Aku bergeming saja mengamatinya.
3 menit berlalu
9 menit berlalu
30 menit berlalu
dan kau masih di sana, dengan lagu yang kau reggae rock yang sedang kau dengarkan – tapi pesanmu tidak kunjung tiba di sini.
Aku berusaha tak memikirkannya dan bergegas tidur saja. Mungkin diam-diammu yang kurasa janggal itu hanya ada di dalam pikiranku saja – mungkin besok, kau akan berlagak tidak terjadi apa-apa, karena memang tidak ada apa-apa.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rupanya, diam-diammu menjadi semakin menyebalkan di pagi hari. Aku memulai hari dengan menyapamu yang masuk ke ruangan dalam sunyi, tak seperti hari biasa, dan bahkan tak mendapat mendapat lirikanmu. Aku berusaha membantu pekerjaanmu yang akhirnya kau delegasikan ke orang lain padahal biasanya kau tidak segan menyerahkan semuanya (bahkan yang tidak perlu dibantu) kepadaku. Aku berusaha membuka percakapan dengan semua kolega, menanyakan mau makan apa kita siang ini dan kau diam saja, padahal kau yang biasanya heboh duluan. Diammu semakin membuat hariku buruk dan kau terus-menerus berlagak seperti terjadi apa-apa, dan mau tidak mau aku jadi berpikir bahwa memang terjadi apa-apa. Aku juga tidak mengerti kenapa hariku harus jadi buruk karenamu karena mottoku adalah "Apa yang kau rasakan adalah apa yang kau bisa kendalikan. Untuk menjadi bahagia atau tidak bahagia, adalah pilihan yang selalu bisa kita buat dan kita usahakan."
Kita semua makan siang dalam diam, hingga akhirnya salah satu kolega mengajak kita semua untuk pergi bersama ke kota untuk berkaraoke sepulang kerja, mengingat ini sudah akhir minggu. Kolega-kolega yang lain tampak antusias dan mengiyakan – berhubung banyak dari mereka yang juga pulang ke arah kota, kau mengiyakan namun tak tampak antusias walau karaoke adalah hobimu, dan aku mengiyakan karena aku toh tidak memiliki rencana apa-apa. Kau melirikku sedikit kemudian kembali melihat makananmu sebelum aku bisa berkedip memberimu sinyal "Hei, kamu marah padaku?". Aku keluar dari ruangan karena berada satu ruangan denganmu tanpa mengetahui apa yang telah terjadi membuatku sangat jengkel. Hari ini aku tidak bahagia dan aku merasa ini bukan sesuatu yang bisa kupilih untuk kuusahakan.
Sore itu, aku, kau, dan ketiga kolegaku duduk di dalam satu mobil. Kau duduk di kursi penumpang depan dan aku duduk di tengah dengan 3 orang teman lainnya. Aku berusaha menangkap matamu dari kaca, namun kamu terlihat berusaha keras tidak meliriknya. Aku tidak suka menyuarakan permasalahan kita dan aku yakin kamu juga, tapi akhirnya setelah lelah dengan permainan yang membingungkan ini, aku mengambil ponselku dan mulai mengetik diam-diam,
"Aku salah apa?"
Kamu membaca dengan cepat di jok depan,
"Tidak"
Singkat, padat, dan jelas. Aku menutup ponselku dengan jengkel, lalu melesakkan diriku di antara teman-temanku yang sudah mulai mengantuk. Tak lama, suara obrolanmu yang tadinya terngiang keras di telingaku, perlahan memudar ditutup kantukku yang rasanya sama sekali tidak nyaman.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ini mungkin karaoke yang paling ricuh dalam hidupku. Aku terkantuk-kantuk mengikuti orang-orang pergi ke bilik karaoke, kemudian setelah 30 menit berlalu, lagu segala negara sudah dimainkan. Suara sumbang semua orang telah memantul di seluruh penjuru ruangan, hingga salah satu petugas masuk dan memohon agar kita sedikit lebih tenang, karena rupanya bilik yang dindingnya telah dilapis peredam pun tidak begitu bisa meredam suara sumbang yang penuh keributan. Tibalah giliranmu menyanyikan lagu rock kesukaanmu, yang sering kau mainkan lewat pemutar lagu berbayarku (iya, kau meminjamnya saat istirahat; kau bahkan tahu kunci ponselku). Menyebalkan, karena aku juga jadi suka lagu itu dan ingin saja bernyanyi bersamamu, namun aku bersikap acuh tak acuh saat mendengarmu bernyanyi dan asik melihat ponselku.
Aku baru saja mau keluar dari ruangan untuk ke kamar kecil saat kau menyodorkan mic padaku. Aku bengong saja melihat mic yang masih kau genggam di hadapanku dan karena orang-orang mulai bersorak "Ayo nyanyi! Ayo nyanyi!", maka aku mengambilnya dan mulai bernyanyi bersamamu. Menyebalkan, bahwa aku tahu lagu ini dari dulu dan makin sering mendengarnya karenamu. Lebih menyebalkan lagi, bahwa hari ini, setelah seluruh rangkaian perlakuanmu yang menyebalkan padaku, aku masih bisa bersikap menerima saja.
Suara sumbangmu lebih sumbang dari aku dan selain sumbang, kamu juga buta nada absolut. Aku jadi lebih mensyukuri posisiku dibanding kamu. Setelah lagu selesai, aku duduk menjauh dari layar dan minum. Kamu yang lelah setelah menyanyi sambil melompat sana-sini, tiba-tiba duduk di sebelahku, seolah tidak terjadi apa-apa. Aku diam. Kamu mengambil remote karaoke di sebelahku, lalu memilih lagu. Dalam diam aku melihat lagu-lagu apa yang kau pilih, tapi kau memilih lagu-lagu yang selalu kau putar dalam search tab pemutar laguku (yang kau pinjam secara gratis itu), lalu kau menyerahkan remote karaoke padaku, sambil membuang muka berkata, "kalau kamu tahu liriknya, nyanyi saja bersamaku".
Aku harusnya lebih bisa mempertahankan diamku, seperti kau mempertahankan diammu yang menyebalkan itu seharian ini, namun alih-alih menjadi balas menyebalkan, aku malah ikut bernyanyi bersamamu. Tidak semua lagu, namun cukup membuktikan bahwa aku lega kau tidak mengacuhkanku lagi dan bahwa aku sangat senang bisa berinteraksi denganmu lagi. Lagu rock yang kita nyanyikan kali ini sukses mencapai rekor sumbang yang paling juara hingga akhirnya pelayan karaoke-pun masuk lagi memberikan ultimatum bahwa suara sumbang kita terlalu berisik. Kenapa juga mendirikan karaoke jika pelanggan tidak boleh ribut-ribut bersuara sumbang?, tanyaku dalam hati. Tapi kau tak peduli, kau tetap bernyanyi dengan kemampuan buta nada absolut, yang lama-lama membuat kita semua tertawa menghinamu.
2 jam berkaraoke, dan akhirnya petugas karaoke merasa lega setelah kita melakukan check out. Langit kota mulai gelap, lampu-lampu kios menyala. Jalanan mulai macet, sangat berbeda dengan keseharian kita di pinggiran kota – dimana langit mulai redup, lampu-lampu mulai menyala berundak di lereng gunung yang terlihat dari kejauhan, jalanan mulai melengang, dan dingin mulai memeluk. Beberapa dari kita memutuskan untuk langsung pulang karena rumahnya memang berada di pusat kota, sementara hanya aku dan kamu yang memang harus kembali dengan menggunakan kereta. Kita semua berpisah dalam keramaian, aku dan kamu pamit untuk pergi ke stasiun.
Aku dan kamu berjalan dalam diam, menyusuri gang sempit dan padat penduduk menuju ke stasiun. Ingin rasanya aku pulang sendiri saja, namun aku juga bingung harus naik apa pulang nanti jika tidak dengan kereta. Malas juga menunggu kereta jika aku pulang lebih malam. Kau berjalan di belakangku, dengan ritme langkah yang sama sehingga kita berdua masih jalan berdekatan. Aku membeli karcis bersama denganmu, kemudian petugas memberitahu bahwa keberangkatan kereta tertunda. Kamu berkata, "Tak apa," sementara aku menghela napas panjang. Makin lama saja aku harus merasakan marahmu yang menyebalkan, pikirku.
Aku dan kamu duduk di kursi peron, menunggu kereta. Aku duduk berjarak 1 kursi darimu dan mulai membaca buku. Kamu pergi dan tidak lama kemudian kembali membawa rokok dan menyalakannya, kemudian duduk di sampingku. Aku melirik sebentar ke arahmu yang sedang menyesap rokok dalam-dalam.
"Hari ini menyenangkan," katamu. Aku masih duduk memandangi bukuku.
Sikapmu tidak, jawabku dalam hati. Aku tidak bicara apa-apa karena memang tidak tahu harus menjawab apa.
"Tapi ternyata kau hapal lirik lagu-lagu rock yang kusuka," katamu lagi. Aku masih berusaha tidak menengok. "Aku kira perempuan tidak suka lagu yang seperti itu."
Aku mendengar lagu-lagu itu dari dulu, hanya saja aku baru hapal liriknya sekarang, aku membalas dalam pikiran. Mulutku terkunci rapat.
Kamu kemudian diam dan memainkan ponselmu, aku terus membaca buku. Kereta belum juga datang, sudah setengah jam lebih sejak aku duduk di sini. Aku mendengar suara-suara orang lain yang bergema di seantero peron, tapi suaramu dalam pikiranku adalah yang paling keras bergaung – seperti layaknya satu suara dalam ruang kosong, yang terus menerus terbentur dinding hingga pecah berulang: "Hari ini menyenangkan".
Tiba-tiba kau menggenggam tanganku – begitu pelannya namun bulu kudukku merekah. Aku menengok ke arahmu yang masih memegang ponsel dengan tanganmu yang satu lagi. Aku menarik tanganku namun kau menahannya. Kau mengantungkan ponselmu, lalu menatapku pelan.
"Ayo mengobrol," katamu, "Hari ini seharian kita tidak mengobrol."
Aku memandangmu tidak percaya. Aku yakin tatapanku cukup menyebalkan dan kau memahaminya – rasa kesalku yang tak habis-habis hari ini, malah cenderung bertambah karena kamu yang bersikap seolah tak melakukan apa-apa padaku.
Kau meremas tanganku pelan, "Iya maaf," katamu. "Aku bersikap seolah tak ada apa-apa setelah seharian bersikap menyebalkan". Kau sangat memahami tatapanku yang sudah benar-benar capek.
Aku masih diam dalam pertahananku.
"Tidak berbicara denganmu rasanya menyebalkan," ungkapmu pelan, "Tapi aku tidak tahu bagaimana memulainya lagi, maka aku putuskan untuk bernyanyi dengan sumbang, berharap kamu mengikuti."
Aku diam, masih tidak membalas argumenmu.
"Tapi ternyata aku senang sekali kamu ternyata hapal lagu yang kusukai. Lagu-lagu rock aneh yang biasa membuatku diejek temanku, tapi ternyata toh kamu mendengarkannya juga!," serumu geli.
Seleramu tidak seburuk itu, sahutku dalam hati.
Kamu menyenderkan kepala ke bahuku. Aku kaget dan menolehkan pandangan. Orang-orang sekeliling melihat ke arah kita dan aku jadi malu. Kau, dengan badan tinggi besarmu, menyenderkan kepala ke pundakku yang jelas-jelas kecil dan jauh di bawah jangkauanmu.
"Jangan bersandar," ucapku cepat sambil menggoyangkan bahu tempat kau meletakkan kepala, "orang-orang melihat".
"Memangnya kenapa?" tanyamu, "Kan tidak ada yang kenal."
Aku berkata cepat, "Aku tidak nyaman."
Kamu kembali duduk tegak dengan kepala terangkat, dan menatapku lembut. "Maaf," ujarmu. Aku hanya mengangguk pelan, kemudian kita duduk terdiam. Tanganmu terus menggenggam tanganku, namun tanganku hanya diam kaku, seperti anak kecil yang baru bertemu pacar pertamanya.
Kita duduk dalam diam hingga akhirnya kereta datang. Aku dan kamu berdiri, masuk ke dalam kereta dengan berdampingan. Tanganmu masih memegang tanganku erat. Lampu kereta remang-remang berwarna kuning, banyak wajah-wajah lelah yang mengantuk, dengan udara yang pengap. Kau kembali duduk di sebelahku, menggenggam tanganku yang sempat kau lepas sebentar. Kereta berjalan dengan pelan, lampu-lampu stasiun mulai mengecil dan menghilang, digantikan kegelapan. Kita berjalan menembus kegelapan malam, di tengah area persawahan luas dimana lampu-lampu digantikan bintang. Aku melihat keluar jendela, namun wajahmu ikut terpantul di sana dan menatapku dalam. Tiba-tiba kau memecah kesunyian,
"Aku tak suka pembicaraan kita semalam," katamu.
Aku membalas, "Yang mana? Kita tidak banyak bicara".
Kamu menghela napas, "Membayangkan orang lain menempati posisiku – duduk di sebelahmu, menerima marahmu, dan melakukan ini," ia mengangkat tangan yang menggenggam tanganku.
"Mengetahui kunci ponselku, memutarkan lagu seenaknya dari pemutar musikku, mendiamkan aku, dan kembali bicara padaku setelah seharian tidak mau meladeni omonganku," balasku. Akhirnya keluar juga ucapan ketusku.
"Kau bisa dan boleh marah padaku," katamu. Tentu, kenapa harus tidak bisa?, ujarku sewot dalam hati. Aku juga sangat boleh marah padamu.
"Tapi aku juga boleh melakukan ini," ia mengecup punggung tanganku yang digenggamnya. Aku meringis geli dengan sikapnya yang aneh – luar biasa aneh dan absurd. Aku merinding luar biasa, bingung harus menanggapi apa karena ini begitu aneh. Aku menarik tanganku yang kau genggam secara spontan dan kau tersenyum geli. Aku diam menatap pemandangan di luar jendela, yang sebenarnya tidak lebih dari hamparan langit gelap yang maha luas. Kau juga diam sambil memejamkan mata di sebelahku, tentu saja aku tak melihat secara langsung, aku hanya melihat pantulanmu di jendela.
Kereta memasuki stasiun tujuan kita dan akhirnya kita turun. Setelah keluar stasiun, aku dan kamu akan kembali ke kantor mengambil barang bawaan kita, kemudian berpisah. Esok hari akan berjalan seperti biasa lagi dan kita akan kembali merahasiakan semuanya. Aku tidak tahu apakah akan berbicara denganmu lagi besok atau diam ini ternyata akan tumbuh subur setelah hari ini bertunas. Aku dan kamu berjalan masing-masing dalam diam sambil menyusuri peron untuk keluar dari stasiun, tangan kita tidak lagi bertautan dan aku merasakan ada sekat besar di antara keheningan kita.
Kita berjalan pelan menyusuri peron hingga sampai ke depan stasiun. Lagi-lagi, dalam diam, kau menggenggam tanganku, "Ayo pulang...," katamu, "Ke kantor.". Aku lagi-lagi diam saja berada dalam genggamanku, padahal pikiranku cukup sibuk mempertanyakan bagaimana kalau ada orang kantor yang melihat, tapi kau seolah cuek saja.
"Hari ini, aku pertama kali jalan di luar bersamamu. Hari ini juga, aku pertama kali naik kereta bersamamu. Sebenarnya, ini kali pertamaku naik kereta dengan perempuan," celotehmu, "Aku sama sekali tidak membayangkan akan pernah naik kereta denganmu."
"Tadinya aku hampir tidak mau naik kereta denganmu," ungkapku jujur, "Aku tidak mau didiamkan."
"Tapi malah kamu yang mendiamkan aku," kau senyum tanpa rasa bersalah. Aku kembali memalingkan wajah.
Malam di pinggiran kota ini tipikal sekali – kendaraan hanya sedikit yang lalu lalang, trotoar yang tidak jelas keberadaan dan ketiadaannya, lampu jalanan yang jaraknya berjauhan sehingga meninggalkan kegelapan di beberapa titik, dan kesunyian yang kebanyakan mengisi ketika jalanan benar-benar kosong tanpa suara, padahal malam belum begitu larut. Kemudian kau memecah keheningan, "Aku kesulitan bicara padamu, tapi bukan karena kamu seolah galak padaku," katamu, dengan percikan keterusterangan yang entah kudapat dari mana. "Tapi karena aku tidak biasa merasakan – apa ya namanya? Perasaan tidak nyaman ketika membayangkan ada yang menggantikan aku merasakan hal-hal seperti ini."
Kamu menghentikan langkahmu, memegang tanganku erat, kemudian membelai pipiku. Aku berkedip tidak percaya, karena ini di pinggir jalan raya! Bagaimana jika ada yang melihat?
"Terlebih lagi," ucapmu pelan namun berat, "Begitu aku sadar bahwa ini semua tidak begitu benar untuk terus dirasakan.". Aku tertegun, jarimu mengusap bibirku pelan, kemudian mengelus puncak kepalaku. Gesturmu mengajakku kembali berjalan dan aku mengikutimu dari belakang tanpa bisa banyak berkata apa-apa. Kenapa sih kamu harus menyinggung bahwa ini semua salah?
Kita kembali berjalan dalam diam, aku berjalan dalam rasa dongkol. Dongkol memikirkan bahwa apa yang kau pikirkan itu ada benarnya. Semua emosi yang kita rasakan salah untuk kita rasakan, tapi entah kenapa aku berharap kita tak akan sampai – baik itu ke kantor, maupun ke sebuah konklusi yang membuat rasa bersalah ini memenangkan kita hingga akhirnya kita dengan sadar mengalah. Walaupun seharian ini sikapmu menyebalkan, mendengar sebentar saja kejujuranmu rasanya luar biasa melegakan, dan aku enggan berpisah dengan tangan besarmu yang hangat menggenggam. Bahkan tanpa kamu menggenggam, aku enggan berpisah dengan bayanganmu yang menutupi separuh bayanganku ketika kita berjalan.
Kantor terlihat dari kejauhan dan kau melepaskan genggamanmu. Setelah ini, mungkin kamu akan merasa semua ini sangat salah dan diam-diam kita akan berpisah seolah tidak akan terjadi apa-apa. Kau tiba-tiba berhenti berjalan di depanku dan kemudian memelukku erat.
"Sedikit saja," bisikmu pelan di puncak kepalaku. Aku bisa merasakan napasmu terselip di sela-sela helai rambutku. Aku meredamkan kepalaku di lipatan-lipatan hoodie biru tuamu yang tercium sangat familiar – aroma favoritku selama beberapa bulan terakhir. Dengan ragu aku membalas pelukanmu dan lenganmu merengkuhku dengan lebih erat.
"Kita akan masuk seperti tidak terjadi apa-apa, tapi besok dan seterusnya, jangan berpikir apa-apa," ucapmu. Kamu memelukku erat, aku tidak tahu apa yang membuatku sesak – apakah rengkuhan tanganmu atau ucapanmu yang mengetuk halus pikiranku.
"Jangan pernah berpikir apa-apa, karena aku akan selalu bersikap seperti ini padamu," ucapmu pelan, sambil melepaskan pelukanmu. Kamu tersenyum menatapku kemudian berjalan duluan menuju kantor, aku mengikutimu dari belakang.
Benar rupanya, orang-orang sibuk bergosip saat melihat kedatanganku denganmu, bertanya aku habis pergi darimana. Aku dan kamu menjawab singkat, "Tadi pergi ke kota, karaoke bersama yang lain," dan jawaban pendek itu seolah dapat mendiamkan gosip yang mungkin akan mengamuk di antara kita. Aku dan kamu pulang tanpa banyak berbasa-basi, bahkan kita tidak mengucapkan sampai jumpa.
Kamu selalu bersikukuh agar kita tidak memikirkan apa-apa, tapi pikiranku melambung jauh – lebih jauh dari masa depan yang bisa kulihat. Saat suatu hari ini semua menjadi tambah menyesakkan, mampukan aku untuk tidak memikirkan apa-apa?
Saat aku dan kamu tak menjadi apa-apa, bisakah aku melewati hari tanpa memikirkan apa-apa?
Di luar dugaan, ternyata pikiranku masih konservatif sekali tentang apa yang kuanggap hanya benar dan salah – tidak ada di antaranya, tidak ada abu-abu. Pada akhirnya, aku cuma berharap, kita tidak kunjung sampai ke malam dimana kita dapat menyimpulkan bahwa abu-abu itu tidak pernah ada.
Aku harap, kita tidak kunjung sampai kemanapun. |